Orang Beragama atau Orang Baik? (artikel)
Orang Beragama atau Orang Baik?
Penulis : : Arvan Pradiansyah, Direktur Pngelola Institute for
Leadership & Life Management (ILM) & penulis buku Life is Beautiful
Seorang lelaki berniat untuk menghabiskan seluruh waktunya untuk
beribadah. Seorang nenek yang merasa iba melihat kehidupannya
membantunya dengan membuatkan sebuah pondok kecil dan memberinya makan,
sehingga lelaki itu dapat beribadah dengan tenang.
Setelah berjalan selama 20 tahun, si nenek ingin melihat kemajuan yang
telah dicapai lelaki itu. Ia memutuskan untuk mengujinya dengan seorang
wanita cantik. ''Masuklah ke dalam pondok,'' katanya kepada wanita itu,
''Peluklah ia dan katakan 'Apa yang akan kita lakukan sekarang'?''
Maka wanita itu pun masuk ke dalam pondok dan melakukan apa yang
disarankan oleh si nenek. Lelaki itu menjadi sangat marah karena
tindakan yang tak sopan itu. Ia mengambil sapu dan mengusir wanita itu
keluar dari pondoknya.
Ketika wanita itu kembali dan melaporkan apa yang terjadi, si nenek
menjadi marah. ''Percuma saya memberi makan orang itu selama 20 tahun,''
serunya. ''Ia tidak menunjukkan bahwa ia memahami kebutuhanmu, tidak
bersedia untuk membantumu ke luar dari kesalahanmu. Ia tidak perlu
menyerah pada nafsu, namun sekurang-kurangnya setelah sekian lama
beribadah seharusnya ia memiliki rasa kasih pada sesama.''
Apa yang menarik dari cerita diatas? Ternyata ada kesenjangan yang cukup
besar antara taat beribadah dengan memiliki budi pekerti yang luhur.
Taat beragama ternyata sama sekali tak menjamin perilaku seseorang.
Ada banyak contoh yang dapat kita kemukakan disini. Anda pasti sudah
sering mendengar cerita mengenai guru mengaji yang suka memperkosa
muridnya. Seorang kawan yang rajin shalat lima waktu baru-baru ini di
PHK dari kantornya karena memalsukan dokumen. Seorang kawan yang
berjilbab rapih ternyata suka berselingkuh. Kawan yang lain sangat rajin
ikut pengajian tapi tak henti-hentinya menyakiti orang lain. Adapula
kawan yang berkali-kali menunaikan haji dan umrah tetapi terus melakukan
korupsi di kantornya.
Lantas dimana letak kesalahannya? Saya kira persoalan utamanya adalah
pada kesalahan cara berpikir. Banyak orang yang memahami agama dalam
pengertian ritual dan fiqih belaka. Dalam konsep mereka, beragama
berarti melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan melagukan (bukannya
membaca) Alquran. Padahal esensi beragama bukan disitu. Esensi beragama
justru pada budi pekerti yang mulia.
Kedua, agama sering dipahami sebagai serangkaian peraturan dan larangan.
Dengan demikian makna agama telah tereduksi sedemikian rupa menjadi
kewajiban dan bukan kebutuhan. Agama diajarkan dengan pendekatan hukum
(outside-in), bukannya dengan pendekatan kebutuhan dan komitmen
(inside-out). Ini menjauhkan agama dari makna sebenarnya yaitu sebagai
sebuah sebuah cara hidup (way of life), apalagi cara berpikir (way of
thinking).
Agama seharusnya dipahami sebagai sebuah kebutuhan tertinggi manusia.
Kita tidak beribadah karena surga dan neraka tetapi karena kita lapar
secara rohani. Kita beribadah karena kita menginginkan kesejukan dan
kenikmatan batin yang tiada taranya. Kita beribadah karena rindu untuk
menyelami jiwa sejati kita dan merasakan kehadiran Tuhan dalam
keseharian kita. Kita berbuat baik bukan karena takut tapi karena kita
tak ingin melukai diri kita sendiri dengan perbuatan yang jahat.
Ada sebuah pengalaman menarik ketika saya bersekolah di London dulu.
Kali ini berkaitan dengan polisi. Berbeda dengan di Indonesia, bertemu
dengan polisi disana akan membuat perasaan kita aman dan tenteram.
Bahkan masyarakat Inggris memanggil polisi dengan panggilan kesayangan:
Bobby.
Suatu ketika dompet saya yang berisi surat-surat penting dan sejumlah
uang hilang. Kemungkinan tertinggal di dalam taksi. Ini tentu membuat
saya agak panik, apalagi hal itu terjadi pada hari-hari pertama saya
tinggal di London. Tapi setelah memblokir kartu kredit dan sebagainya,
sayapun perlahan-lahan melupakan kejadian tersebut. Yang menarik,
beberapa hari kemudian, keluarga saya di Jakarta menerima surat dari
kepolisian London yang menyatakan bahwa saya dapat mengambil dompet
tersebut di kantor kepolisian setempat.
Ketika datang kesana, saya dilayani dengan ramah. Polisi memberikan
dompet yang ternyata isinya masih lengkap. Ia juga memberikan kuitansi
resmi berisi biaya yang harus saya bayar sekitar 2,5 pound. Saking
gembiranya, saya memberikan selembar uang 5 pound sambil mengatakan,
''Ambil saja kembalinya.'' Anehnya, si polisi hanya tersenyum dan
memberikan uang kembalinya kepada saya seraya mengatakan bahwa itu bukan
haknya. Sebelum saya pergi, ia bahkan meminta saya untuk mengecek dompet
itu baik-baik seraya mengatakan bahwa kalau ada barang yang hilang ia
bersedia membantu saya untuk menemukannya.
Hakekat keberagamaan sebetulnya adalah berbudi luhur. Karena itu orang
yang ''beragama'' seharusnya juga menjadi orang yang baik. Itu semua
ditunjukkan dengan integritas dan kejujuran yang tinggi serta kemauan
untuk menolong dan melayani sesama manusia.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home