Tuesday, October 12, 2004

Hindari Pemberian Label "Malas" pada Anak (artikel)

Hindari Pemberian Label "Malas" pada Anak
================================

Banyak orang tua acapkali memberi cap atau label "malas" atau "lelet" kepada anaknya. Sebutan ini bisa jadi merugikan sebab membuat anak kurang berusaha karena merasa upaya yang dilakukannya tidak akan diperhatikan. Bahkan mereka akan berlaku sebagaimana diharapkan melalui label yang disandangnya itu. Pada gilirannya, label itu akan merusak pembangunan konsep diri anak yang dibentuk sejak kecil.

Yang penting dilakukan justru membangun semangat anak. Hal ini bisa terbentuk melalui kepercayaan yang diberikan kepadanya, melalui kegiatan yang unik serta mengandung tantangan dan dorongan lainnya. Kemungkinan alasan itu berbeda-beda pada setiap orang, namun orangtua hendaknya mampu membangun semangat anaknya dengan merefleksikan diri atas pengalaman masa kecilnya sendiri.

Cara lain adalah dengan memberikan tanggung jawab kepada anak, misalnya memberi kesempatan utnuk menentukan sendiri jadwal kegiatan mereka. Kapan membereskan kamar, mengerjakan PR, menonton TV dll. Akan sangat baik lagi bila orangtua mengetahui seluruh potensi yang dimilki oleh anak. Potensi ini bisa jadi berlainan dengan hal-hal yang dianggap penting oleh orangtua, namun setidaknya ada beberapa hal yang dapat dikembangkan bersama.

Malah Merusak Anak

Ada beberapa kekeliruan besar yang dipertahankan kebanyakan orangtua. Kekeliruan itu misalnya, orangtua dan guru menyatakan anak sekolah cenderung malas belajar, pelajar sekolah harus rajin belajar supaya pandai, tujuan pendidikan agar anak menjadi pandai. Padahal tujuan pendidikan adalah membantu anak menjadi orang dewasa mandiri dalam kehidupan masyarakat kelak. Orang kemudian mengenal dirinya sendiri, baik keunggulan maupun kelemahannya, dan bertanggungjawab serta penuh perhatian kepada sesamanya. Jadi peran sekolah adalah membantu anak memperoleh tingkat kepandaian sesuai dengan tingkat kemampuan intelektualnya, yang diperlukan untuk menunaikan tugasnya dikemudian hari sebagai anggota masyarakat.

Jadi syarat mutlak untuk berhasilnya proses pendidikan adalah bahwa orang tua harus menerima anak mereka sebagaimana adanya, entah pandai, entah biasa, entah lemah, cantik, cakep atau biasa-biasa saja.

Masalah dalam pendidikan anak dimulai ketika orangtua tidak menerima kenyataan itu. Sebagai contoh, banyak orangtua menuntut anaknya agar di Taman Kanak-Kanak untuk diajarkan berhitung, membaca bahkan jika perlu diajarkan bahasa Inggris. Orangtua menyuruh anak SD mengikuti bimbingan belajar dan mencarikan guru les. Orangtua memaksa anak TK masuk les tari atau les piano, padahal anak tidak memiliki bakat ke arah itu. Orangtua seperti ini tidak mendidik, malah merusak anak.

Yang lebih menyedihkan, ada lembaga pendidikan yang memenuhi tuntutan orangtua yang justru merugikan anaknya. Mustahil diperoleh anak yang memiliki kepribadian penuh, berharga bagi sesama, rendah hati, pantang mundur kendati memiliki kekurangan, bila saat usia sekolah mengalami salah asuhan. Kemampuan anak harus dikembangkan agar dia menjadi orang yang memiliki rasa percaya diri. Jadi kalau anak dituntut terlalu berat justru timbul rasa tidak percaya diri yang akhirtnya membawa kegagalan, dan pada gilirannya, timbullah malasnya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home