Bila Suami Terpikat Wanita Lain ( artikel)
Bila Suami Terpikat Wanita Lain *
oleh : Dwi Septiawati Djafar
http://ukhuwah.or.id/media/ummi/t_media.phtml?edisi=Bila+Suami+Terpikat+Wani
ta+Lain&id=32
Pernikahan adalah perjanjian yang kuat. Seorang laki-laki mengambil wanita
menjadi istrinya dengan menggunakan nama Allah. Namun perjalanan selanjutnya
tidak selalu mulus. Ada banyak aral melintang yang dapat mengolengkan biduk
yang berlayar. Salah satunya adalah munculnya orang ketiga yang tidak saja
memancing di air keruh tapi juga mengeruhkan air yang awalnya bening.
Bagaimana perasaan seorang wanita kala mengetahui suaminya tertarik wanita
lain?
Luna terisak-isak di depan Wita. Ia merasa suaminya sedang jatuh cinta pada
wanita lain, entah siapa. Awalnya dari dering telepon yang berujung pada
perbincangan bisik-bisik dan lama. Suaminya selalu menghindar bila Luna
bertanya soal siapa dan apa. Setiap usai perbincangan di telepon, suaminya
kelihatan begitu ceria dan banyak senyum. Luna curiga dan terus mendesak.
Suaminya malah pindah tempat bertelepon ke wartel dekat rumah. Ketika Luna
semakin mendesak, suaminya marah dan menjadi tidak peduli. Luna semakin
bingung dan tak tahu berbuat apa. Kenapa suaminya tertarik pada wanita lain?
Wilayah kosong
Ketika seorang wanita memasuki wilayah pernikahan, ia akan mengalami
perubahan-perubahan dalam hidupnya. Ia tidak hanya menjadi istri, tapi juga
akan menjadi ibu. Kelahiran anak pertama, apalagi diikuti dengan kedua,
ketiga dan selanjutnya, merupakan peristiwa besar bagi dirinya. Ia yang
mengandung, melahirkan, menyusui dan merawat anak-anak tersebut.
Kedekatannya dengan anak-anak bisa membuat perhatiannya teralihkan dari
hubungan suami istri.
Ida Poernomo Sigit, S.Psi, seorang konsultan perkawinan dan keluarga,
mengatakan kondisi seperti itu dapat menjadi titik tolak menjelaskan
pertanyaan di atas. Menurut dia, anak sangat menyita waktu dan perhatian
seorang ibu sehingga ia tidak sempat lagi bertanya mengenai perasaan
suaminya, pikirannya, dan tidak sempat memperhatikan kebutuhannya. "Bukan
karena enggak mau, tapi enggak sempat aja."
Ketika istri memusatkan perhatiannya pada anak, suami tidak bisa menyalahkan
istrinya dan ia pun tidak bisa menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa?
Masyarakat, termasuk suami, beranggapan bahwa anak adalah yang terpenting.
Padahal kebutuhan suami tetap ada. Dan ketika perhatian itu teralihkan, kata
Ida, di situ akan ada wilayah kosong yang tidak tergarap. "Di setiap wilayah
kosong pasti ada upaya untuk memenuhi kebutuhan. Nah, kalau ada yang lewat
nawarin untuk ngisi yang kosong, ia terima. Padahal yang lewat itu nggak ada
apa-apanya dibandingkan istri yang dia pilih dengan sadar. Yang lewat ini
mungkin menawarkan seujung kuku, sedangkan istrinya punya setelapak tangan.
Tapi, toh, diambil juga. Ya, karena dia punya wilayah yang kosong," tutur
psikolog yang sering menjadi pembicara di berbagai seminar keluarga ini.
Jangankan ditawarkan, kata Ida, tidak ada yang menawarkan pun dia melihat
sesuatu. "Dia kurang itu, sehingga dia mudah sekali tertarik."
Hal senada diungkapkan Herlini Amran M.A., konselor rubrik Fiqh Wanita di
majalah Ummi. Ia mengatakan, kurangnya perhatian, pelayanan dan tanggapan
terhadap aspirasi suami dapat membuka peluang bagi suami untuk melirik
wanita lain.
Ahmad Heriawan, L.c., seorang ustadz yang sering menjadi konselor masalah
perkawinan berpendapat bahwa adanya ketidakpuasan antara suami istri bisa
menjadi penyebab. "Bila sudah ada kepuasan, hal-hal semacam itu tentu tidak
akan terjadi."
Soal kriteria
Teori satu bicara soal ruang kosong atau peluang yang diciptakan istri.
Bagaimana kalau tidak ada ruang kosong karena istri tidak memiliki
kekurangan dan telah memenuhi tugasnya dengan baik?
Ida Poernomo Sigit menjawab pertanyaan ini dengan teori dua. Menurut dia,
laki-laki itu sedang mempraktekkan karakter manusia. Sebelum menikah seorang
laki-laki mempunyai kriteria untuk calon istrinya, misalnya 10. "Sebenarnya
istrinya punya 15, tapi dimata suami ia hanya punya tujuh. Pikirnya, ya
sudah, tujuh juga enggak apa-apa." Tapi, tambah Ida, adakalanya dalam
perjalanan selanjutnya suami menagih kriteria yang dilihatnya kurang.
"Makanya kalau ada yang lewat dan punya satu saja akan dia sambar."
Laki-laki paling tidak tahan dengan sanjungan dan rengekan, juga senang
menjadi hero, penolong dan mudah kasihan pada orang lain. Sementara wanita
sangat pandai mencapai maksudnya lewat sanjungan dan rengekan. Ketika wanita
tertarik pada seorang laki-laki, ia akan melancarkan serangan-serangan
gencar. "Dan memang ada perempuan yang model begitu," jelas psikolog yang
tinggal di bilangan Kelapa Gading ini.
Ustadzah Herlini Amran menyampaikan penjelasan serupa. Menurutnya peluang
itu bisa datang dari dalam maupun dari luar rumah tangga. "Diluar ada
peluang-peluang yang menggoda suami. Ia melihat perempuan dalam berbagai
macam bentuk. Laki-laki itu lebih gampang terpancing. Jadi, kasihan kalau
sesampai di rumah ternyata ia tidak dilayani," kata ustadzah yang
menyelesaikan S2nya di Pakistan.
Hal senada pun diakui Heriawan. Menurut dia, setiap laki-laki memiliki
tabiat terobsesi pada wanita. Meski sudah punya istri dan mencintai
istrinya, ia bisa saja tertarik dan jatuh cinta pada wanita lain. "Karena
itu Allah membolehkan (poligami-red) dengan syarat ia mampu. Dan cinta
kepada istri pertama tidak boleh hilang, bahkan boleh jadi lebih besar."
Mitos masyarakat
Mitos dan kultur yang berkembang di masyarakat juga berpengaruh terhadap
kehidupan perkawinan seseorang. Tak jarang, laki-laki dan wanita sebagai
sepasang suami istri kalah dalam menghadapi tuntutan sosial.
Misalnya, masyarakat menganggap wajar jika seorang laki-laki yang kaya dan
berduit banyak, menikahi 2 atau 3 wanita tanpa peduli bagaimana cara dia
memperlakukan istri-istrinya. Anggapan anak laki-laki lebih berharga dari
anak perempuan pada masyarakat Tapanuli, misalnya, kadang membuat seorang
suami menceraikan istrinya atau menikahi wanita lain hanya demi mendapatkan
keturunan laki-laki. "Kalau belum kawin dengan orang sekampung, kita belum
bergelar. Itu kalau kita ke tanah Minang. Jadi laki-laki didorong kawin
lagi," kata Ida mencontohkan.
Pandangan orang terhadap perkawinan pun semakin tidak sakral. Perselingkuhan
digambarkan begitu vulgar lewat sinetron dan film. Ini juga mempengaruhi
sikap dan kepribadian laki-laki.
Karenanya Heriawan lalu mengingatkan bahayanya obrolan dan senda gurau
tentang wanita kedua dalam hidup seorang laki-laki. "Kalau sekedar membahas
sedikit-sedikit, bolehlah. Tapi kalau setiap laki-laki ketemu laki-laki
ngobrolnya yang semacam itu, saya khawatir sesuatu yang asalnya syar-i akan
cenderung menjadi biasa-biasa saja. Hal yang semula sakral dan suci menjadi
sederhana dan menjadi bahan lelucon. Jadi kalau dia lalu melakukan sesuatu
(poligami-red) bukan karena kesiapannya, tapi karena obrolan yang mendorong
obsesi dan nafsu kelaki-lakiannya."
Krisis laki-Laki
Menurut Ida Poernomo Sigit, laki-laki dalam kehidupannya mengalami beberapa
fase krisis: saat pra remaja, saat berangkat dewasa dan saat usia 35-40
tahun, ketika seorang laki-laki berada pada puncak kariernya. Kalau ia
berhasil mencapai sesuatu yang membanggakan dan merasa puas, tidak akan
terjadi krisis. Bila tidak, ia akan mengalami krisis identitas: saya ini
seorang pemenang atau pecundang?
Hal ini lalu akan menimbulkan kegelisahan dalam dirinya, apalagi kemudian
angkatan di bawahnya mulai bergerak naik dan mengincar posisinya. "Ini
sangat menggelisahkannya. Ditambah keluarga sudah tidak memperhatikan
dirinya. Istri capek mengurus anak yang berangkat remaja, penuh persoalan.
Istri mulai menurun gairah seksnya, juga lupa merawat cinta kasih. Kedudukan
enggak dapet, harta enggak dapet, perempuan enggak dapet. Tuhan mengatakan
jagalah diri kita dari harta, tahta, wanita. Dalam kondisi seperti itu, ada
perempuan yang menggoda. Itu akan mengobati krisis dia. Dia mudah sekali
tersanjung dan iba hati."
Haruskah Tergoda?
Dalam masalah ini kita dapat mendudukkan persoalannya pada tiga hal:
menggoda, digoda atau tergoda. Seorang suami dapat saja terpikat wanita lain
dengan menjadikan hal-hal diatas sebagai alasan. Ini merupakan kesimpulan
yang diambil Ida Poernomo Sigit dalam perjalanannya berpuluh tahun
menghadapi banyak rumah tangga yang oleng karena adanya WIL. Namun
pertanyaannya, bolehkah adanya alasan-alasan di atas menjadi legalitas bagi
suami untuk mencari wanita lain?
Menurut Heriawan, ketidakpuasan yang terjadi di dalam rumah tangga memang
dapat membuat suami tergoda. Tapi, kata dia, kurangnya iman merupakan
penyebab utama. Suami yang kurang iman tidak akan sanggup mengatasi
ketidakpuasannya dengan cara yang bijak. Malah, tambah Heriawan, ia tidak
boleh hanya menuntut istrinya untuk selalu penuh perhatian dan selalu tampil
menarik di depannya, melainkan ia pun harus memberikan peluang pada istrinya
agar dapat melakukan hal itu (membuat dirinya menarik-red).
"Misalnya anak banyak, untuk mengurus itu saja si istri sudah kehabisan
waktu. Mana ada waktu untuk mengurus dirinya. Kalau karena itu cinta suami
luntur, tidak wajar itu. Tidak adil. Istri sadar untuk tampil menarik di
hadapan suaminya. Suami juga harus memberi dukungan, misalnya keluasan
materi. Untuk tampil menarik kan butuh alat kecantikan, butuh senam, jamu,
dan lain-lain. Kalau suaminya tidak punya daya dukung tapi menuntut istrinya
tampil menarik, itu kan tidak adil. Kalau seperti itu tidak ada alasan
baginya bahwa perempuan di luar jadi lebih menarik."
Ida Poernomo Sigit berpendapat sama. Menurutnya, seorang suami adalah imam
dalam rumah tangganya. Ia mengambil seorang wanita dari ayahnya lewat ijab
qabul yang berarti berjanji meneruskan estafet amanah di hadapan Allah.
"Kalau ma'mumnya enggak beres, imamnya dong yang membetulkan, bukan
ditinggalkan, sebab ma'mum itu kan tanggungjawab imam."
Seorang suami yang shaleh, menurut Herlini, tidak akan membuang-buang waktu
untuk memikirkan wanita lain. Ia akan bekerja sebaik-baiknya untuk
menunaikan kewajibannya.
Kalau seorang suami memiliki pemahaman agama yang baik ia pasti bertanggung
jawab. Ia akan ingat bahwa dalam bukunya kelak akan ada file istri dan
anak-anaknya yang harus dibuka satu-satu. Sedang wanita, sepanjang telah
menjalankan tugas-tugasnya sebagai istri, ia tidak akan bertanggung jawab
atas kelakuan suaminya. "Kalau secara psikologis sudah memahami hal ini,
maka perilakunya akan mengarah kesana. Kalau pemahamannya kocar-kacir,
gimana perilakunya?"
Laporan Asmawati, Sarah Handayani dan Vinny.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home