Tuesday, October 12, 2004

Ketika Pemberian Susu Formula Menjadi Gengsi (artikel)

Ketika Pemberian Susu Formula Menjadi Gengsi
25 Agustus 2004 16:35:06

Departemen Kesehatan meluncurkan lagi "Gerakan Kembali Ke ASI" sebagai
langkah antisipatif terhadap makin meluasnya kecenderungan para ibu yang
memberikan susu formula kepada bayinya. Gerakan semacam itu menjadi sangat
penting karena perilaku para ibu tersebut sudah mengarah ke gengsi, tidak
lagi sekedar ketidakmampuan memberi ASI.

"Yang dikhawatirkan, perilaku yang tak sehat itu telah ditiru para ibu dari
keluarga kurang mampu. Namun dengan mengencerkan pemberian susu formula
sehingga tidak memenuhi kebutuhan gizi bayi," kata Menteri Kesehatan
(Menkes) dr Achmad Sujudi dalam acara Peringatan Pekan ASI Sedunia, di
Jakarta, Kamis (19/8).

Memberikan ASI secara eksklusif sejak lahir hingga 6 bulan pertama kehidupan
bayi merupakan kewajiban ibu dan keluarga untuk memberikan makanan terbaik
yang memenuhi standar tertinggi atau standar emas baik dalam cara menyusui
maupun kandungan gizi ASI. Sehingga menjamin hak anak untuk tumbuh kembang
secara optimal. ASI merupakan makanan yang aman, berkualitas dan selalu
tersedia.

"Bukan rahasia lagi bila air susu ibu (ASI) merupakan makanan paling
sempurna bagi bayi, terutama bayi berusia dibawah 6 bulan. Disamping
mengandung zat gizi sesuai kebutuhan tumbuh kembang bayi, ASI juga memiliki
zat kekebalan guna mencegah timbulnya berbagai infeksi," ujar Menkes.

Hal lain yang tak kalah penting adalah pemberian ASI dapat menjalin kasih
sayang antara bayi dan ibu serta mempercepat pemulihan kesehatan ibu,
menunda kehamilan dan mengurangi risiko terjadinya kanker payudara.

Sebaliknya pemberian susu formula sebenarnya tidak efektif dan efisien.
Karena susu formula cenderung diberikan tidak sesuai dengan takaran yang
semestinya, misalnya lebih encer atau tidak terjamin kebersihannya. Atau
pemberian susu formula yang berlebihan menyebabkan bayi terlalu gemuk dan
kegemukan juga merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung dan
stroke di usia dewasa.

"Bayi yang tidak memperoleh ASI secara eksklusif, selain tidak tumbuh dan
berkembang optimal, juga akan sering menderita sakit. Salah satu penyebabnya
adalah karena susu formula tidak memiliki zat kekebalan untuk melindungi
bayi dari serangan penyakit infeksi, karena zat kekebalan ini hanya tersedia
pada ASI," ucap Achmad Sujudi menegaskan.

Menyadari manfaat pemberian ASI secara eksklusif, dewasa ini para ibu di
negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika dan Australia telah menjadikan
pemberian ASI secara eksklusif sebagai perilaku pola asuh bayi. Meski mereka
bekerja, tapi hal ini tidak menghambat keberhasilan pemberian ASI secara
Eksklusif.

"Berbeda dengan para ibu di negara berkembang seperti Indonesia, yang
cenderung memilih memberikan susu formula kepada bayinya. Bahkan pada
sebagian ibu, perilaku ini berkembang menjadi semacam gengsi. Celakanya,
perilaku yang salah ini lalu ditiru oleh para ibu dari keluarga kurang
mampu, sehingga terjadi pemberian susu formula yang sangat encer dan tidak
memenuhi kebutuhan gizi bayi," ujar Menkes menyayangkan.

Menurut Menkes, hingga sekarang ini baru 40 persen dari empat juta ibu
melahirkan tiap tahun di Indonesia yang bersedia memberikan air susu ibu
(ASI) secara eksklusif atau tanpa diberikan makanan atau minuman lain kepada
bayinya pada usia 0-6 bulan. Padahal menurutnya, sejak 1994 pemerintah telah
mensosialisasikan pemberian ASI eksklusif agar bayi memiliki daya tahan
tubuh dan kecerdasan tinggi.

Karena itu, Menkes Achmad Sujudi mengimbau untuk memanfaatkan momentum
peringatan Pekan ASI Sedunia ini untuk berpartisipasi aktif mempromosikan
pemberian ASI secara eksklusif di lingkungan keluarga dan masyarakat.

Peran Ayah

Keprihatinan serupa dikemukakan Ketua Sentra Laktasi Indonesia, dr Utami
Roesli. Ia menyayangkan tindakan sejumlah rumah sakit di hampir seluruh kota
di Indonesia yang memberikan susu formula pada bayi yang baru lahir sebelum
ibunya mampu memproduksi ASI. Hal itu menyebabkan bayi tidak terbiasa
menghisap ASI dari puting susu ibunya, dan akhirnya tidak mau lagi
mengonsumsi ASI atau sering disebut dengan "bingung puting".

"Menghisap susu dari botol itu lain dengan menghisap puting susu ibu. Bayi
harus belajar sejak awal dan ibu juga harus belajar menyusui, karena
ketrampilan itu memang harus dipelajari oleh keduanya," ujar dr Utami
Roesli.

Sejak lahir, seorang bayi harus diajari menyusu dengan cara memasukkan
seluruh areola payudara (daerah berwarna cokelat di payudara ibu) ke dalam
mulut bayi. Jika bayi hanya mengisap puting susu saja, ASI yang keluar hanya
sedikit. "Gudang ASI terletak di bawah daerah cokelat itu. Jika yang diisap
hanya putingnya saja, ASI yang keluar hanya sedikit. Sedangkan, kalau dari
daerah cokelat itu, ASI yang keluar akan banyak sekali," jelas Utami.

Jika ASI di gudang itu habis, pabrik ASI (alveoli) akan segera memproduksi
lagi. Alveoli berbentuk bulat dan bergerombol seperti buah anggur. Alveoli
dikelilingi otot yang disebut myoepithel. Otot inilah yang memompa ASI
keluar dari alveoli menuju gudang ASI.

Namun, kinerja myoepithel sangat tergantung pada hormon oksitosin yang
dikirim otak. Jika oksitosin keluar, otot pun bekerja. Sedangkan, oksitosin
bisa keluar jika ibu merasa tenang dan disayang oleh suami serta mendapat
dukungan dari orang-orang di sekelilingnya. "Makanya hormon ini disebut
hormon kasih sayang. Dan di sinilah ayah memegang peranan penting," tegas
Utami.

Bicara tentang peran ayah dalam pemberian ASI, pada kesempatan itu
ditampilkan dua ibu yang membeberkan pengalamannya memberi ASI eksklusif
selama 6 bulan. Mereka adalah Ny Saranih dan presenter kondang Sophie
Navita--istri dari pemusik Ponky Jikustik.

Sophie menuturkan, rencana memberi ASI eksklusif telah ditanamnya sejak
hamil, karena ia banyak mendapat masukan dari sahabat ibunya, dr Utami
Roesli. Pada awal menyusui, ia mengaku sempat tegang kalau tidak bisa
melaksanakan rencananya itu, terlebih saat itu ia terserang baby blues
akibat bentuk tubuhnya yang kegemukan akibat beratnya yang meningkat 16 kg
semasa hamil.

Namun, berkat dukungan sang suami yang tak bosan-bosannya memberi semangat
dan pijatan mesra di bahunya, Sophie mampu memberi ASI pada sang buah hati.
"Karena masih memberi ASI, tiga bulan setelah melahirkan tubuh saya masih
"besar" sehingga diolok-olok oleh teman-teman di lingkungan. Kadang-kadang
stress juga menghadapi mereka, sehingga mau buru-buru diet agar bisa kurus
lagi. Tetapi suami terus ingatin aku untuk tidak memperdulikan omongan
mereka, karena prioritas utama saat ini adalah anak. Terbukti, anakku jarang
sakit. Selain juga hemat karena aku tidak pernah beli susu formula," ujar
Sophie yang dibenarkan sang suami Pongky Jikustik.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home