Saturday, October 16, 2004

titip rindu untuk ayah (cerita)

ass wr wb,
mengutip dari milis tetangga
semoga berguna,
wasalam,
ayah sasa
..........

Titip Rindu untuk Ayah

Membuatku selalu teringat larik Ebiet G Ade,

Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
Benturan dan hempasan terpahat di keningmu
Kau nampak tua dan lelah, keringat mengucur deras
Namun kau tetap tabah
Meskipun nafasmu kadang tersengal
Memikul beban yang makin sarat
Kau tetap bertahan

What should I say about him?
Sedari kecil, aku tak terlalu dekat dengannya. Lumrah mungkin, karena
seorang anak memang biasanya lebih dekat dengan ibunya. Sosok wanita yang
senantiasa hadir di rumah, membimbing anak-anaknya.

Aku tak terlalu dekat dengannya. Sosok itu selalu pergi pagi pulang sore.
Setiap beliau tiba, selalu kucari, adakah ia membawa bingkisan bagiku? Dan
ibuku senantiasa menyuruhku menyiapkan makan baginya. Sebuah permintaan
yang selalu kupenuhi sembari enggan menggelayuti jasad. Sebuah sikap yang
selalu kusesali hingga saat ini.

Sosok itupun jarang berbicara. Selalu kulihat ia bekerja dalam diam. Ah,
satu sifat yang lewat kuteladani. Ya, ayah adalah sosok yang serba bisa
menurutku. Dan jelas dambaan wanita masa kini. Karena beliau tidak pernah
segan melakukan pekerjaan wanita, tanpa melalaikan amanahnya sebagai ayah.
Bahkan kadang kupikir, di beberapa sisi beliau lebih jago dari ibuku.
Beliau bisa menjahit dengan rapi dan sangat teliti. Membuatkan ciput untuk
kakak perempuanku, sebagai orang pertama yang memakai kerudung di
keluargaku. Memasak dengan sangat bersih dan apik. Membuat sendiri
beberapa
perkakas dapur dari kayu. Membersihkan halaman dan menggunting rumput.
Pernah suatu kali, seorang sales mengira beliau adalah tukang kebun!
Jadilah rumahku selamat dari serbuan sales.

Benar, ayah adalah pekerja yang sangat teliti. Kadang aku dan juga
kakak-kakakku sering gemas ... "Ayo dong Yah, cepetan dikit! Atau kita aja
deh yang ngerjain". Tapi proses yang 'lambat' itulah yang mewujudkan hasil
mengesankan.

Mengecat ayunan taman bersama. Pergi ke pasar dengan pakaian lusuh. Beli
sepeda, lalu kita kayuh bergantian. Menemaniku ke toko buku. Membelikanku
gula-gula harum manis yang besar, karena saat itu aku malu memegangnya.
Memboncengku di sepeda 'unta'. Menghadirkan bola basket saat aku memang
sedang kepingin-kepinginnya. Mewariskan kepadaku beberapa buku sastra
masih
dengan ejaan lama. Berkolaborasi dengan ibuku, menjahitkan seprei berenda
untuk Idul Fitri.

Satu lagi dari ayahku adalah, beliau tidak pernah mengeluh. Sungguh! Sosok
itu memang jarang tersenyum. Beberapa temanku mengaku takut melihat
ayahku.
Wah, mereka belum tau saja bila isengnya kumat, ayahku bisa meniru sosok
ibu via telpon, dan sudah beberapa teman yang tertipu!

Perpaduan sinergis jarang tersenyum dengan tiada keluhan sedikit pun dari
lisannya. Bahkan saat beliau sakit dan harus dirawat di rumah sakit
-pertama dan hanya sekali dalam seumur hidupnya-, hingga sosok tegar itu
menemui Izrail di sana. Akibat sakit yang menyerang hatinya. Akibat
akumulasi zat-zat toksik ketika dulu beliau bekerja di pabrik belasan
tahun
lamanya. Sedikitpun tak pernah kudengar keluhan keluar dari lisannya.
Padahal sering beliau tidak melalui malam dengan mata terpejam, karena
sakit memerih di hatinya. Bahkan beliau menolak keinginanku untuk
menemaninya di rumah sakit hanya karena khawatir mengganggu sekolahku.

Satu ketika seorang sahabat bercerita kepada saya, kakunya ia membangun
komunikasi dengan ayahnya. Aku hanya bisa terdiam miris. Menyembunyikan
basah di mataku. Duhai sahabat, segeralah bangun komunikasi dengannya.
Sebelum maut mewujudkan jarak antaranya.

Mengenang ayahku, selalu kuingat tanggal itu, 31 Agustus 1995. Paska
kepulangannya dari Baitullah. Ternyata beliau pun harus berpulang pada
Dzat
yang selalu kita nantikan pertemuan dengan-Nya. Kamis mendung mendesak
awan. Tubuhnya telah terbalut kain putih. Menyisakan seraut wajah
bergurat.
Tatkala wajahnya dipalingkan menghadap kanan. Dan gundukan tanah merah
basah menindihnya, menghalangi kami sedikit demi sedikit ... menjarakkan
kami kian jauh ...

Rabbi,
Lapangkanlah kuburnya.
Terangilah ia dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar.
Datangkanlah sosok tampan di hadapannya, sebagai wujud amal kebaikan
beliau
selama ini.
Kutitipkan ia pada-Mu Ya Allah ...

Rabbi,
Rahmatilah hamba sebagai anak shaleh, agar mampu mendoakan kedua orang tua
hamba.
Sampaikan kepadanya, larik yang belum sempat kuverbalkan di hadapannya,
bahwa Aku mencintainya.

Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
Kini kurus dan terbungkuk
Namun semangatmu tak pernah pudar
Meski langkahmu kadang gemetar
Kau tetap setia

Rindu Ayah. Sungguh.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home