Saturday, July 16, 2005

"BRUTUS, BRUTUS..." perubahan panggilan oleh batita

Sekalipun lucu, jangan biarkan tawa Anda lepas berderai. Tak juga dapat dibenarkan bila Anda memarahinya, apalagi sampai mencapnya sebagai anak nakal atau kurang ajar. Beri tahu saja baik-baik, lama-lama dia juga akan ngerti kok.


Suatu hari seorang ayah dikejutkan oleh suara anak lelakinya (2 tahun), "Brutus, Brutus... ." Si ayah yang sedang membaca koran itu lantas memalingkan wajahnya ke arah anak lelakinya yang juga tengah melihat ke arahnya. "Panggil Ayah, Nak?" tanya si ayah. Si anak langsung menjawab dengan mimik serius, "Iya, Brutus." Mendengar itu, si ayah spontan tergelak sambil menghampiri anaknya, "Hahaha... ini Ayah, Nak, bukan Brutus, hahaha..." Tetapi sahut si anak, "Iya, Brutuuus..."

Mungkin Anda juga pernah mengalami hal serupa, si kecil yang berusia batita memanggil Anda dengan sebutan/nama lain. Atau, si kecil malah mengganti nama dirinya sendiri. Perilaku si kecil yang demikian, menurut Shirley Stacia, Psi., memang bisa terjadi pada anak usia batita, meskipun tidak semua. "Umumnya terjadi pada anak yang baru dapat berbicara dan mulai mampu mengadopsi kalimat atau kata yang diperolehnya dari lingkungan."

INFORMASI BERKESAN

Menurut Shirley, mengganti nama dilakukan oleh si batita jika sebelumnya ia mendapatkan informasi yang sangat berkesan dan terus-menerus diterimanya. "Sadar atau tidak, hal itu diserap oleh anak. Nah, kebetulan yang diserap adalah sebuah konsep kata, sehingga kata itulah yang melekat di pikirannya."

Contoh, anak mendapat masukan dari film Popeye yang selalu memanggil seseorang dengan namanya langsung semisal, "Popeye," atau "Brutus." Nah, ketika hendak memanggil ayahnya, kemudian kata yang diucapkan adalah "Brutus."

TAK PUNYA MAKSUD APA-APA

Yang jelas, si kecil berperilaku demikian bukan lantaran ingin meledek. "Ingat, anak usia ini pemikirannya belum matang," ujar Shirley. "Ada kemungkinan mereka juga belum tahu persis apa itu sopan santun, apa itu tata krama, dan sebagainya," lanjutnya cepat.

Selain itu, anak usia ini belum tentu tahu makna dari kalimat yang dia ucapkan pada orang lain. Berbeda dari kita yang sudah bisa mengolah jika ingin mengganti nama panggilan orang lain. Misalnya, "Jangan panggil dia Nenek Lampir, nanti dia tersinggung karena mengasosiasikannya dengan perempuan tua yang tricky dan jahat. Ganti nama yang lain aja deh."

Si kecil juga mungkin tak punya maksud apa-apa, terlebih-lebih maksud jelek. Contoh, karena ibunya kurus, rambutnya panjang, dan cerewet, maka oleh anak dipanggil Nenek Lampir. Atau, karena wajah tantenya berjerawat, maka dipanggillah dengan nama SpongeBob.

Intinya, perilaku mengganti nama panggilan seseorang semata-mata sebagai bentuk spontanitas dan mengalir begitu saja. Kalau sekarang lagi mood memanggil ayahnya dengan nama Brutus, maka panggilan ayah akan diganti dengan Brutus. Tetapi kalau besok-besok dia lagi kepingin memanggil ayahnya dengan nama Swiper, ya akan dia lakukan. "Tergantung pada informasi mana dan kata apa yang membuatnya terkesan pada saat itu," tandas Shirley.

BUKAN AJANG LUCU-LUCUAN

Umumnya, saat anak berperi- laku demikian, kita cenderung akan tertawa geli karena merasa lucu. Bahkan tak jarang pula menanggapinya semisal, "Apa, Nak? Coba sekali lagi... Brutus, hahaha...." Padahal dengan respons yang seperti itu hanya akan memperkuat perilakunya. Kondisi ini akan memungkinkan terjadinya pengulangan pada perilaku si kecil.

Bila kondisinya sudah seperti itu, menurut Shirley, bisa menjadi tak baik buat perkembangan anak. Mengapa? Karena dengan adanya penguat, anak tidak belajar menempatkan konsep pada tempat yang semestinya. Bahkan tak menutup kemungkinan, anak tidak belajar bahwa hal tersebut bisa membuat orang berpandangan negatif pada dirinya, dicap sebagai anak tak sopan, tak tahu aturan, hingga nakal dan bandel, misalnya.

Jadi, apa yang sebaiknya dilakukan orang tua? Bersikap tenang adalah hal pertama yang dianjurkan Shirley. "Orang tua hendaknya tidak menunjukkan reaksi kaget yang berlebihan, apalagi langsung mempunyai pikiran bahwa si kecil adalah anak yang nakal, tidak sopan, atau kurang ajar."

Sebaliknya, orang tua harus mampu menyembunyikan rasa gelinya. Jadi, walaupun ingin tertawa lepas, harus tetap ditahan. Senyum saja pada anak. Kemudian dekati anak dan saat itu juga luruskan, "Lo, kok Brutus? Ini, kan ayah. Brutus itu, kan penjahat di film Popeye." Penting lagi, berikan penjelasan yang benar pada anak.

Ada kemungkinan di lain waktu atau kepada orang lain, anak tetap melakukannya sekalipun kita sudah memberitahu. Tak perlu marah. Cukup kita ingatkan lagi, "Eh, kok masih panggil ayah si Brutus. Ayah enggak mau nengok, lo kalau masih dipanggil Brutus."

Bila kita konsisten melakukannya, yakin deh, lama-lama si kecil akan menghilangkan kebiasaannya itu kok.

Terjadi juga pada anak SD

Mengganti nama panggilan orang lain tidak saja terjadi pada anak batita. "Anak usia SD atau anak SMA hingga lebih tinggi lagi, ada juga yang melakukannya," kata Shirley. Bedanya, anak batita melakukannya dengan polos, belum tentu juga mereka tahu apa arti dari kalimat atau kata yang disebutnya. Sementara pada anak yang lebih besar, SD misalnya, umumnya sudah dibarengi dengan maksud dan tujuan tertentu. Umpama, di sekolah ada ibu guru yang dicap sebagai guru galak dan jahat, ditambah penampilannya fisiknya yang kurus, sehingga anak memanggilnya dengan nama nenek Lampir. "Tentu ini tidak serta merta diutarakan secara langsung pada yang bersangkutan, biasanya hanya pada komunitasnya saja."

Peniruan dari Orang Tua

Bisa jadi, si batita "gemar" mengganti nama ini lantaran meniru ayah atau ibunya yang suka melakukan hal ini. Akan tetapi, kata Shirley, kejadiannya jarang sekali karena orang tua sekarang sepertinya sudah tidak melakukan hal ini. Sekalipun melakukan, pasti pada waktu tertentu dan tidak di depan atau terdengar anak.

Gazali Solahuddin. Ilustrator: Pugoeh

0 Comments:

Post a Comment

<< Home