Wednesday, October 20, 2004

Ridho dan Rifa (cerita haru)

Ridho dan Rifa
Oleh: Wuland
Sumber: http://www.kotasantri.com


Masih di sudut gang seperti biasa, menunggu dan terus
menunggu, entah sudah berapa jam gadis kecil dengan
baju lusuhnya duduk di sudut gang sempit itu. Sesekali
dia mengusap dahinya yang dibasahi peluh, dengan mata
beningnya dia terus menatap ke arah jalan raya.

Ini sudah lewat dari waktu anak-anak SD pulang
sekolah, tapi suasana jalanan tak pernah lengang
sebelum malam menjemput. Gadis kecil itu tiba-tiba
berdiri dan berlari menyongsong seseorang yang
kelihatannya sedari tadi ditunggunya.

"Baaaannggg!!!" sambut gadis kecil tadi riang, dengan
langkah-langkah pendeknya dia berlari ke arah kakaknya
yang berumur 10 tahun, 4 tahun lebih tua dari gadis
kecil tadi.

"Fa, ayo kita nyari tempat buat makan, Ab ang punya
nasi bungkus nih, kamu pasti sudah lapar sekali nunggu
dari tadi di sini," Ridho langsung meraih pergelangan
tangan yang terasa begitu kurus di genggaman telapak
tangannya.

Dengan wajahnya yang makin sumringah Rifa berlari-lari
kecil untuk mengimbangi langkah-langkah cepat
kakaknya. Tak ada yang memperhatikan tingkah kedua
anak kecil itu, semua orang sibuk dengan urusannya
sendiri-sendiri, sibuk dengan dunianya masing-masing.

Dua anak malang yang harus menjalani masa kecilnya
dengan memeras keringat sendiri, mencari sesuap nasi
untuk menyambung hidup mereka, kehidupan yang serba
susah dalam kerasnya kota besar itu membuat mereka
lebih berpikir dewasa daripada anak seumuran mereka.

Seperti biasa mereka langsung menuju ke mushola di
kawasan kumuh itu untuk menghabiskan makanan yang baru
didapatkan Ridho, entah apa yang ada di pikiran mereka
untuk kehidupan selanjutnya, bagi mereka yang penting
adalah saat ini mereka bisa makan berarti mereka masih
bisa meneruskan nafas sampai entah kapan.

Selesai makan Ridho merebahkan tubuhnya di teras
mushola, Rifa beranjak membuang bungkus makanan dan
mencuci tangannya. Kemudian kembali ke tempat abangnya
ikut-ikutan merebahkan diri di teras.

"Abang, Rifa tadi liat anak-anak yang pulang sekolah
pake baju sama semua, bagus deh Bang bajunya," Rifa
mulai berceloteh, karena sejak tadi pagi ditinggal
sendirian di sudut gang dekat SD Harapan Bunda.

"Itu namanya baju seragam," sahut Ridho sambil tetap
memejamkan mata.

"Terus, mereka juga bawa tas lucu-lucu deh Bang, Rifa
juga pingin punya tas yang lucu."

"Kamu punya tas buat apa? Kamu kan gak sekolah, nanti
saja kalau Abang punya uang kamu bisa sekolah, trus
Abang beliin tas," hibur Ridho, dia sendiri juga gak
tau kenapa mengatakan itu pada adiknya, untuk membeli
makan setiap harinya saja sudah susah, bisa makan
sud ah untung-untungan, gimana bisa beli tas apalagi
menyekolahkan Rifa.

"Tasnya yang lucu Bang yaa. Yang ada gambar bonekanya,
yang warnanya merah muda ya Bang," angan-angan Rifa
sudah kemana-mana membayangkan dia bisa bermain dengan
anak-anak SD yang lain, memakai seragam seperti
mereka, makan es krim yang suka mangkal di depan
sekolah, Rifa senyum-senyum sendiri membayangkan
abangnya pasti memenuhi janjinya.

Semilir angin membuai Ridho yang sedang kecapekan dan
membuatnya tertidur dalam waktu yang tidak lama. Tak
seberapa lama khayalan Rifa juga mulai menghilang
tergantikan dengan kegelapan yang membawanya ke alam
mimpi, dalam mimpinya tak jauh beda dengan
khayalannya. Berlari-lari di halaman sekolah dengan
seragam barunya dan teman-teman sekolahnya.

***

Setiap malam Ridho pergi ke warung-warung tenda untuk
menawarkan jasa semirnya, kalau malam biasanya Rifa
ikut dengan abangnya, katanya sih takut kalau harus
nunggu abangnya sendirian. Lagian kalau malam Ridho
tidurnya juga tidak pernah tetap, di mana ada tempat
yang bisa mereka pakai untuk tidur ya di situlah
mereka melepas lelah malam itu.

Ridho masih sibuk menawarkan jasanya dari orang ke
orang, tapi tak seorangpun yang mau menyemirkan sepatu
atau sandalnya. Mungkin ada beberapa orang yang merasa
iba dan memberikan uang receh tanpa minta disemir
sepatunya.

"Bang.... Rifa dikasih duit seribu sama ibu yang itu,"
kata Rifa senang sambil menyerahkan uangnya ke Ridho.

"Kamu simpan aja, itu kan duit kamu Fa, dikumpulin aja
biar bisa buat beli tas," jawab Ridho yang membuat
Rifa langsung memasukkan uang itu ke saku roknya.

Waktu beranjak semakin malam, seiring dengan lelah dan
kantuk yang semakin terasa, akhirnya mereka memutuskan
berhenti di teras toko yang baru saja ditutup.

"Malam ini cuman dapat dikit..., tapi cukuplah kalau
buat sarapan besok ," ucap Ridho lirih sambil
menghitung recehan yang berhasil dikantonginya malam
ini.

"Kalau gak cukup pake duitnya Rifa aja Bang," timpal
Rifa yang mulai menggelar koran untuk alas tidur
mereka.

"Gak usah, uang Abang masih cukup kok, udah sana kamu
tidur, besok harus bangun pagi kalau tidak ingin
diomeli sama yang punya toko."

Rifa segera merebahkan tubuhnya setelah selesai
menggelarkan koran untuk Ridho.

***

Pagi ini seperti pagi-pagi sebelumnya Rifa menunggu
abangnya di dekat SD Harapan Bunda, berdiri di luar
pagar dan memandangi anak-anak yang lagi asyik bermain
dan berlari-larian sudah menjadi rutinitasnya setiap
pagi sebelum akhirnya harus menunggu abangnya di sudut
gang karena anak-anak SD itu sudah pada pulang.

Dan seperti hari-hari sebelumnya juga Rifa menunggu
kakaknya di sudut gang kecil, sambil duduk di sebuah
bangku yang mulai reyot termakan panas dan hujan. Jam
satu sudah lewat, biasanya Ridho sudah datang, kalau
belum datang berarti duit untuk beli makan masih
kurang.

Paling telat biasanya Rifa menunggu sampai jam tiga,
tapi peduli apa Rifa dengan jam, toh dia tak mengerti
sama sekali dengan aturan jam. Yang dia tau sekarang
sudah mulai sore dan abangnya belum juga menampakkan
batang hidungnya. Rifa mulai gelisah karena lapar dan
khawatir, gadis kecil yang sudah hidup berdua saja
dengan kakaknya sejak umur 4 tahun itu tak beranjak
sama sekali dari sudut gang itu, karena dia tau kalau
abangnya pasti akan bingung mencarinya jika dia tidak
ada di sana ketika abangnya kembali.

Sore mulai hilang tergantikan merahnya senja, dan
senjapun sudah turun tahta tergantinya gelapnya malam.
Kini, Rifa hanya bisa menangis diantara bingung dan
laparnya.

***

Pagi itu ketika Ridho meninggalkan Rifa di depan SD
Harapan Bunda, tak terbersit sama sekali di pikirannya
jika nanti siang dia sud ah tidak bisa lagi bertemu
dengan adik semata wayangnya. Dengan adik yang sudah
dijaganya sejak 2 tahun yang lalu, Rifa-lah yang
membuatnya bertahan untuk menjalani hidup yang tidak
bersahabat ini.

Dan siang ini ketika Ridho hendak membeli makan di
warung dekat ruko yang sudah menjadi langganannya
karena selain murah juga sang empunya sering
memberikan makanan lebih karena tau kondisi Ridho. Di
lihatnya dari arah supermarket gerombolan petugas
keamanan dan beberapa warga sedang berlari mengejar
beberapa anak belasan tahun, mungkin ada yang seumur
dia ke arah Ridho hendak membeli makan.

Ridho hanya terpaku di tempat memandangi gerombolan
itu yang kian mendekat, tiba-tiba seseorang
menyergapnya dari belakang dan menyeretnya.

Ridho baru sadar ketika banyak orang yang berteriak
"Dasar maling kurang ajar!!!", "Masih kecil-kecil
sudah mencuri!!", "Dasar pengutil cilik!!", "Sudah
hajar saja!! Hajar!!".

"Saya buk an pencuri Paaaakkk!!!! .....Saya bukan
pencuriiii!!!!," teriak Ridho sekuat tenaga, tapi
cengkeraman lelaki itu semakin menguat.

Beberapa warga yang menyaksikan tragedi itu masih
mengeluarkan sumpah serapahnya, bahkan ada yang
mencoba memukulnya atau melemparinya dengan batu atau
apa saja yang bisa dilempar ke arah anak-anak yang
tertangkap itu.

"Saya tidak ngutil!! Lepaaaaaaasssssssss!!! Saya mau
beli makan buat adik saya, lepaskan saya Pak!!
Lepaaaaaaaaaaassssss!!!!!!" Ridho berontak makin
menjadi-jadi. Petugas itu semakin berang dengan
tingkah Ridho, dan menendangnya agar diam.

***

Dan malam itu, ketika Ridho tak juga menemui Rifa,
akhirnya Rifa memutuskan untuk pergi ke warung tenda
yang biasanya dikunjungi Ridho dan Rifa setiap malam.

Masih dengan sesenggukan Rifa menyusuri jalanan yang
diterangi lampu jalanan dan lampu kendaraan. Setelah
lelah mencari-cari di setiap warung tenda dan tidak
mendapatkan hasil, tangis Rifa makin menjadi, dan
terduduk di trotoar.

Dia tak tau lagi apa yang harus dilakukannya, sekarang
rasa lapar itu benar-benar telah melanda Rifa lagi,
tak pernah terpikir oleh Rifa untuk membeli makanan
dengan duitnya sendiri jika tidak ada abangnya. Masih
sendiri, dan menangis di tepi jalan itu.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home