Saturday, July 16, 2005

MARAH BOLEH TAPI YANG POSITIF DONG!

Rasa marah merupakan emosi negatif yang sebaiknya diungkapkan dengan cara yang diterima orang lain.


Reza yang berusia 4 tahun bisa dibilang punya kebiasaan buruk. Jika marah, ia tak sekadar cemberut namun akan melempar benda-benda yang ada di sekitarnya. Kalau yang ada mainan ya benda itu yang dilempar. Mulutnya pun tak berhenti mengeluarkan rengekan dan omelan dengan nada tinggi.

Perasaan marah memang mesti disalurkan. Kalau tidak si kecil malah bisa frustrasi. Namun jika penyalurannya seperti yang dilakukan Reza tadi; membanting-banting barang sambil berteriak, tentu itu bukan cara yang disarankan. Nah, masalahnya bagaimana mengajarkan si kecil untuk marah dengan cara yang bisa diterima. Asal tahu saja, bila anak tidak dilatih untuk menyalurkan emosi negatif ini dengan benar maka dampaknya bisa buruk. Tak hanya barang di rumah menjadi rusak karena dibanting atau dilempar ke sana-kemari, tapi perkem-bangan psikologisnya pun bisa terganggu.

DUA KATEGORI KEMARAHAN

Sebenarnya ada dua kategori penyaluran perasaan marah, yakni yang dinyatakan dan yang tidak dinyatakan. Berikut penjelasannya:

* Emosi yang dinyatakan

Kemarahan anak akan diungkapkan secara spontan, misalnya dengan tindakan fisik, seperti memukul, mencakar dan lainnya. Yang kena sasaran juga tak pandang bulu, bisa ibu, bapak, pengasuh, adik, atau yang lain. Orang yang sedang berada di dekatnya juga akan kena semprot. Tindakan fisik tersebut bisanya akan disertai omelan atau teriakan tanpa arti yang jelas. Semuanya diungkapkan begitu saja seolah-olah tanpa kendali.

Marah seperti ini biasanya dilatarbelakangi dua faktor, yaitu:

* Peniruan

Tindakan seperti merusak/melempar/memukul atau makian, biasanya diadaptasi dari lingkungan sekitar. Entah dari orang tua, saudara, tetangga, tontonan, maupun teman-teman di sekolah. Perilaku seperti ini juga biasa terjadi pada anak yang orang tuanya sering bertengkar. Karena dia selalu merasa "terancam" akibat melihat pertengkaran-pertengkaran tersebut muncul perasaan-perasaan yang tak karuan, entah itu kesal, marah, takut, khawatir dan sebagainya. Selanjutnya, anak akan tumbuh menjadi sosok yang pencemas, tak merasa aman dan nyaman pada lingkungannya. Pada awalnya bisa saja anak memendam semua kecemasan itu. Namun ibarat bom waktu, perasaan itu dapat berubah menjadi kemarahan yang meledak.

* Trial and Error

Ada juga anak yang berteriak/mengomel/ menendang atau memukul saat marah, sebagai upaya coba-coba alias trial and error. Dia berperilaku seperti itu sebagai langkah untuk "memancing" respons orang tua atas tindakannya. Contohnya begini, jika setelah ia berteriak-teriak marah lalu orang tua "mengalah" dan mengabulkan keingian anak, tak heran kalau ia akan menganggap tindakan yang dilakukannya memang mujarab. Alhasil, perilaku tersebut akan selalu diulang kembali. Dia berpikir untuk meluluhkan hati orang tuanya ya memang harus dengan cara marah-marah.

* Emosi yang tak dinyatakan

Ada pula anak yang memilih untuk memendam kemarahan di dalam hatinya. Umumnya hal ini disebabkan rasa takut, cemas atau khawatir yang berlebihan. Anak yang jarang diberi kesempatan untuk mengekspresikan kemarahannya cenderung seperti ini. Contohnya, pada keluarga yang terlalu banyak aturan ini-itu sehingga apa pun perilaku anak selalu salah. Alhasil, perasaan kesal, dongkol, tersinggung dan sebagainya akan dipendam rapat-rapat.

Sikap memendam perasaan seperti ini tentu memiliki dampak. Salah satunya, anak dapat tumbuh dengan sifat oversensitif alias mudah sekali terpancing emosinya. Kalau sudah begitu, biasanya ungkapan marahnya bakal meledak-ledak. Jangan heran pula kalau ada anak yang punya kecederungan mencederai atau mencelakai dirinya sendiri. Itu juga merupakan efek dari emosi yang dipendam.

MENYALURKAN KEMARAHAN

Jadi memang, sebaiknya kemarahan itu selalu diungkapkan. Namun sekali lagi, harus dengan cara-cara yang positif. Bagaimana caranya? Berikut upaya yang dapat dilakukan:

* Mengajak beraktivitas fisik

Energi kemarahan anak bisa dialihkan pada hal-hal yang lebih positif. Misalnya dengan mengajak anak bermain di luar rumah seperti bermain bola, sepeda, berenang dan sebagainya. Prinsipnya, ajaklah si prasekolah melakukan kegiatan fisik yang disenanginya. Namun, anak yang sedang dalam keadaan sedang marah mesti didampingi. Jangan dibiarkan bermain sendiri karena dikhawatirkan penyaluran energi negatifnya justru tak maksimal.

Hindari kegiatan yang pasif. Umpamanya, hanya duduk diam, nonton teve atau membaca. Dengan begitu saja, energi kemarahannya tetap terpendam. Hasilnya, si kecil malah tambah uring-uringan tak jelas.

* Sediakan boneka atau bantal

Agar anak tak sampai melempar barang, memukul meja, atau menendang pintu, misalnya, berilah mainan atau benda yang berbahan empuk seperti boneka dan bantal. Biarkan anak memukul-mukul boneka atau bantal itu sampai energi negatifnya habis.

* Ajak membereskan atau membersihkan sesuatu

Kalau memungkinkan, ajak anak membereskan atau membersihkan sesuatu, misalnya ikut mencuci mobil, membereskan mainan, mencabuti rumput ilalang, dan sebagainya. Yang jelas, alihkan penyaluran energi negatif itu ke hal-hal yang lebih positif.

BERI PENJELASAN

Selain itu, ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan orang tua:

1. Upayakan melakukan aktivitas fisik secukupnya saja. Jika terlalu banyak energi yang dikeluarkan, si prasekolah malah bisa kelelahan sehingga makin gelisah.

2. Jangan memberikan media pelampiasan kemarahan tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. Misalnya, bahwa kemarahan yang meledak-ledak itu tidak baik. Sebab, bisa-bisa cara anak menyalurkan kemarahan akan tetap sama; membanting-banting, berteriak-teriak dan lainnya. Lantaran itu, jika kondisi anak sudah stabil, diskusikan hal ini dengan cara dan bahasa yang dimengerti anak.

3. Selalu cari tahu apa yang menyebabkan anak marah. Apakah karena sebelumnya ibu janji membelikan sepeda baru namun hingga sekarang tak kunjung dikabulkan, misalnya. Ibu bisa mengungkapkan alasan dengan mengatakan." Sebetulnya ibu sudah mau membelikan kamu sepeda, tapi kemarin, kan, kakakmu sakit sehingga harus diperiksa ke dokter dan membeli obat. Nah, uang untuk membeli sepeda itu terpakai dulu. Nanti kalau uangnya sudah ada, ibu pasti belikan kamu sepeda."

4. Kalau sudah diberi penje- lasan namun anak masih cemberut atau marah, biarkan saja. Beri ia waktu untuk menenangkan diri atau melakukan introspeksi.

5. Yang jelas, orang tua jangan terpancing atau terbawa emosi. Justru pandai-pandailah mengendalikan suasana agar kembali mencair. Misalnya, memancing si prasekolah dengan cara bercanda atau melontarkan hal-hal yang lucu. Jika orang tua malah balik marah-marah, suasana makin bertambah kaku dan permasalahan pun tak kunjung usai.

TAHAPAN UNGKAPAN MARAH

Sejak usia bayi sebenarnya anak sudah bisa marah. Namun tentu saja ungkapannya hanya dalam bentuk menangis atau rewel. Nah, pada usia batita kemampuan motorik dan keterampilan berbahasa anak sedikit demi sedikit mulai berkembang. Di usia ini ekspresi kemarahan diungkapkan dengan gerak atau perilaku. Misalnya dengan cara membanting, menendang, memukul, dan sebagainya.

Saat usia prasekolah, kemampuan si kecil makin berkembang termasuk kemampuan berbahasanya. Alhasil, ungkapan emosi selain dicetuskan dengan perilaku yang buruk juga disertai melontarkan ucapan-ucapan bernada tinggi.

Hilman Hilmansyah. Foto: Ferdi/NAKITA

Konsultan Ahli:

Dra. Naomi Soetikno,

psikolog dari Omni Medical Center, Jakarta.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home