Friday, October 22, 2004

fidyah dan mengqadla' puasa

Selanjutnya, yang juga penting diketahui sekitar persoalan fidyah dan

mengqadla' puasa enadalah hal-hal berikut:

1. Dalam keadaan berpuasa seorang istri yang sedang hamil,
apabila
khawatir terhadap kesehatan diriya dan anak yang dikandungnya,
maka
diperbolehkan tidak berpuasa. Firman Allah : "Dan bagi orang yang
mampu menjalankan puasa (tapi tidak menjalankannya karena merasa
terlalu berat) maka wajib membayar fidyah yaitu memberi makan
orang
miskin." (Al-Baqarah: 184) Dan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan
oleh Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda "Allah SWT melepaskan
kewajiban shalat (pada waktunya) bagi musafir, dan melepaskan
tanggungan puasa atas musafir, perempuan yang hamil, dan yang
menyusui." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah,
dan
Baihaqi).

2. Para ulama berbeda pendapat dalam apakah perempuan yang
hamil
dan yang menyusui diwajibkan mengqadla' dan membayar fidyah, atau
cukupkah dengan mengqadla' saja (tanpa membayar fidyah), atau
sebaliknya hanya membayar fidyah saja? (Silahkan Anda memilih
sendiri
mana yang paling cocok dengan keadaan Anda). Pendapat pertama
(Ibnu
Abbas dan Ibnu 'Umar): Jika keduanya (perempuan yang hamil dan
yang
menyusui) mengkhawatirkan kesehatan janin dan anaknya, maka hanya
diwajibkan membayar fidyah (tanpa mengqadla'). Kedua (Hanafi):

Sebaliknya, keduanya hanya diwajibkan mengqadla' puasa yang
diitinggalkan (tanpa membayar fidyah). Ketiga (Maliki): Orang yang
hamil hanya wajib mengqadla' saja (tanpa membayar fidyah), namun
orang yang menyusui diwajibkan membayar fidyah dan mengqadla.
Keempat
(Syafi'i dan Ahmad): keduanya hanya diwajibkan mengqadla' saja
jika
mengkhawatirkan kesehatan diri dan anaknya. Namun jika hanya
mengkhawatirkan kesehatan anaknya saja, maka wajib mengqadla' dan
membayar fidyah.

3. Mengenai mengakhirkan qadla' puasa Ramadlan hukumnya
boleh-boleh saja selama tidak sampai menjelang Ramadlan
berikutnya.
Namun begitu, jika tidak ada halangan (seperti bepergian, bekerja
keras, sakit, dan udzur-udzur lainnya), hendaknya secepatnya
mengqadla'.


Adapun seperti yang dikisahkan Sayidah Aisyah bahwa kebiasaan
istri-istri Rasulullah tidak segera mengqadla Ramadlan sampai
datang
bulan Sya'ban (HR. Muslim) itu tidak sepenuhnya bisa dijadikan
landasan dalam persoalan penundaan qadla' puasa ini. Karena
kebiasaan
mereka (istri-istri Rasul) seperti itu hanya berdasar kekhawatiran
jika sewaktu-waktu Rasulullah membutuhkan (hajat biologis) mereka.
Karena mereka tidak tahu pasti kapan Rasul akan membutuhkan
mereka.
Mereka beri'tikad baik senantiasa menyiapkan diri kapan saja bila
Rasul membutuhkan. Dan itu mesti tidak dengan melakukan puasa.
Sehingga mereka baru melakukan qadla' puasa pada bulan Sya'ban,
saat
mana Rasul biasa berpuasa pada sebagian besar bulan Sya'ban
tersebut.

Dengan demikian, seorang istri yang sudah ditinggal mati suaminya
tidak perlu ikut-ikutan mengqadla' puasa sampai datangnya Sya'ban.

4. Jika belum mengqadla' sampai memasuki/menjelang Ramadlan
berikutnya, hendaknya segera mengqadla' pada hari-hari yang
tersisa
(dari bulan Sya'ban) dan melanjutkan sisanya seusai Ramadlan.
Apabila
penundaan qadla' dikarenakan adanya halangan seperti sakit atau
perjalanan yang berkepanjangan sampai datang bulan puasa
berikutnya,
para ulama sepakat bahwa qadla' bisa dilakukan seusai bulan puasa
berikutnya dan tidak diwajibkan membayar fidyah. Namun bila
penundaan
itu dilakukannya secara sengaja (tanpa ada halangan) maka
diwajibkan
membayar fidyah dan mengqadla'.

Mengenai cara pembayaran fidyah: fidyah boleh saja dibayar berupa uang
(yang senilai dengan satu mud, atau sekitar 3/4 (tiga per empat) kg
beras atau makanan pokok setempat). Dan boleh saja dibayarkan sekaligus
kepada satu orang (miskin).


ayat lengkap ttg Puasa: al-Baqarah 183 s/d 185

hadis: sesungguhnya Allah mencabut puasa dan separuh
shalat mufasir, dan mencabut puasa dari perempuan
hamil dan menyusui (HR Nasa'i & Ibnu Majah)

dari tafsir Al Azhar ada lagi;
Menurut riwayat Abd bin Humaid dan ad-Daruquthni, dari
Ibnu Abbas, bahwa beliau Ibnu Abbas, mengatakan kepada
ibu anak2nya yang sedang hamil dan menyusui anak yang
tidak sanggup pada waktu itu mengerjakan puasa, supaya
berbuka saja, lalu memberi makan kepada orang miskin
(fidyah) dengan tidak usah mengqadha.

Wanita yang sedang hamil dan/atau menyusui diperbolehkan tidak berpuasa
jika dikhawatirkan akan mengakibatkan terganggunya kesehatan, baik itu
akan berpengaruh pada anak yang dikandung maupun pada wanita yang sedang
mengandung. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dengan hasil konsultasi
dari pakar medis yang menangani kehamilan tersebut. Jika memang
--menurut perspektif medis-- berpuasa tidak berbahaya bagi kesehatan
wanita tersebut, maka sebaiknya tetap berpuasa. Akan tetapi jika puasa
dikhawatirkan membawa dampak yang membahayakan kehamilan maupun ibu yang
mengandung, maka diperbolehkan tidak berpuasa.

Mengenai fidyah dan qodlo puasa, berikut pendapat beberapa ulama terkait
wanita hamil atau menyusui : 1. Jika ia khawatir puasa dapat
membahayakan kesehatannya atau kesehatan anaknya, maka boleh tidak
berpuasa dan wajib meng-qadla di luar Ramadlan tanpa membayar fidyah.

2. Jika ia khawatir puasa dapat membahayakan kesehatan anaknya saja dan
tidak membahayakan dengan kesehatannya sendiri, maka boleh tidak
berpuasa dan wajib meng-qadla. Selain itu, sebaiknya juga membayar
fidyah. Ini adalah pendapat Imam Syafi'i. Sementara Imam Hanafi
berpendapat harus qadla dan tidak diperbolehkan membayar fidyah saja.

3. Dalil yang memperbolehkan tidak puasa bagi wanita hamil atau menyusui
diqiyaskan dengan orang yang sedang sakit dan musafir (orang yang dalam
perjalanan). Juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang menyatakan
bahwasanya Allah memperbolehkan kepada musafir untuk tidak berpuasa,
qashar dan jamak sholat. Begitu juga bagi orang yang sedang hamil dan
menyusui, diperbolehkan tidak berpuasa (H.R. Ahmad dan Ashab al-Sunan
dari Anas bin Malik). Justru sebaiknya wanita hamil atau menyusui tidak
berpuasa apabila puasa tersebut mengakibatkan terganggunya kesehatan ibu
yang sedang hamil dan janin yang dikandungnya.

4. Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Said bin Jubair (Sahabat) menyatakan
diperbolehkannya membayar fidyah saja tanpa harus meng-qadla. Karena
qadla itu sendiri dibatasi sampai sebelum datangnya Ramadlan berikutnya.
Jika sampai tahun berikutnya tetap tidak bisa meng-qadla puasa karena
menyusui, maka boleh (baca: cukup) membayar fidyah saja. Adapun
ketentuan fidyah dapat anda lihat dalam arsip jawaban kami dengan
mengunjungi http://www.pesantrenvirtual.com/tanya/063.shtml