Wednesday, October 20, 2004

story) Hope this also touches your life

As she stood in front of her 5th grade class on the very first day of
> school, she told the children an untruth. Like most teachers, she looked
> at her students and said that she loved them all the same. However, that
> was impossible, because there in the front row, slumped in his seat, was a
> little boy named Teddy Stoddard.
>
> Mrs. Thompson had watched Teddy the year before and noticed that he did
> not play well with the other children, that his clothes were messy and
> that he was constantly in need of a bath.
>
>
> In addition, Teddy could be unpleasant. It got to the point where Mrs.
> Thompson
> would actually take delight in marking his papers with a broad red pen,
> making bold X's and then putting a big "F" at the top of his papers. At
> the school where Mrs. Thompson taught, she was required to review each
> child's past records and she put Teddy's off until last. However, when she
> reviewed his file, she was in for a surprise.
>
>
>
> Teddy's first grade teacher wrote, "Teddy is a bright child with a ready
> laugh. He does his work neatly and has good manners .... he is a joy to be
> around.."
>
> His second grade teacher wrote, "Teddy is an excellent student, well liked
> by his classmates, but he is troubled because his mother has a terminal
> illness and life at home must be a struggle."
>
>
>
> His third grade teacher wrote, "His mother's death has been hard on him.
> He tries to do his best, but his father doesn't show much interest and his
> home life will soon affect him if some steps aren't taken."
>
>
>
> Teddy's fourth grade teacher wrote, "Teddy is withdrawn and doesn't show
> much interest in school. He doesn't have many friends and he sometimes
> sleeps in class."
>
>
>
> By now, Mrs. Thompson realized the problem and she was ashamed of herself.
> She felt even worse when her students brought her Christmas presents,
> wrapped in beautiful ribbons and bright paper, except for Teddy's. His
> present was clumsily wrapped in the heavy, brown paper that he got from a
> grocery bag. Mrs. Thompson took pains to open it in the middle of the
> other presents. Some
> of the children started to laugh when she found a rhinestone bracelet with
> some of the stones missing, and a bottle that was one-quarter full of
> perfume.. But she stifled the children's laughter when she exclaimed how
> pretty the bracelet was, putting it on, and dabbing some of the perfume
> on her wrist. Teddy Stoddard stayed after school that day just long enough
> to say, "Mrs. Thompson, today you smelled just like my Mom used to." After
> the children left, she cried for at least an hour.
>
>
>
> On that very day, she quit teaching reading, writing and arithmetic.
> Instead, she began to teach children. Mrs. Thompson paid particular
> attention to Teddy. As she worked with him, his mind seemed to come alive.
>
>
>
> The more she encouraged him, the faster he responded. By the end of the
> year, Teddy had become one of the smartest children in the class and,
> despite her lie that she would love all the children the same, Teddy
> became one of her "teacher's pets."
>
> A year later, she found a note under her door, from Teddy, telling her
> that she was still the best teacher he ever had in his whole life.
>
>
>
> Six years went by before she got another note from Teddy. He then wrote
> that he had finished high school, third in his class, and she was still
> the best teacher he ever had in life.
>
>
>
> Four years after that, she got another letter, saying that while things
> had been tough at times, he'd stayed in school, had stuck with it, and
> would soon graduate from college with the highest of honors. He assured
> Mrs. Thompson that she was still the best and favorite teacher he had
> ever had in his whole life.
>
> Then four more years passed and yet another letter came. This time he
> explained that after he got his bachelor's degree, he decided to go a
> little further. The letter explained that she was still the best and
> favorite teacher he ever had. But now his name was a little longer.... The
> letter was signed, Theodore F. Stoddard, MD.
>
> The story does not end there. You see, there was yet another letter that
> Spring. Teddy said he had met this girl and was going to be married. He
> explained that his father had died a couple of years ago and he was
> wondering if Mrs.
> Thompson might agree to sit at the wedding in the place that was usually
> reserved for the mother of the groom.
>
> Of course, Mrs. Thompson did. And guess what? She wore that bracelet, the
> one with several rhinestones missing. Moreover, she made sure she was
> wearing the perfume that Teddy remembered his mother wearing on their last
> Christmas together.
>
> They hugged each other, and Dr. Stoddard whispered in Mrs. Thompson's ear,
> "Thank you Mrs. Thompson for believing in me.
>
> Thank you so much for making me feel important and showing me that I could
> make a difference."
>
> Mrs. Thompson, with tears in her eyes, whispered back. She said, "Teddy,
> you have it all wrong. You were the one who taught me that I could make
> difference. I didn't know how to teach until I met you! "
>
>
>
> (For those of you who don't know, Teddy Stoddard is the Dr. at Iowa
> Methodist in Des Moines that has the Stoddard Cancer Wing.)
>
>
>
> Warm someone's heart today. . . pass this along. I love this story so
> very much. Just try to make a difference in someone's life today?
> tomorrow? just "do it".
>
>
>
> Random acts of kindness, I think they call it? "Believe in Angels, then
> return the favor"
>
> I believe that friends are quiet angels who lift us to our feet when our
> wings have trouble remembering how to fly. "
>

Karena Doa Kita (artikel)

Karena Doa Kita
Penulis:Ummu Fani

Suatu waktu temanku bercerita dengan nada mengeluh tentang putrinya,
Zahra (3 tahun). Menurutnya Zahra sangat nakal, manja, cengeng, dan sama
sekali tidak mau berpisah dengannya bila dia ada di rumah. Tetapi saat
ibunya bekerja dan ia ditinggal di rumah bersama pengasuh, Zahra menjadi
anak yang manis.

Itu bukan cerita aneh, hampir semua anak berperilaku demikian, tak
terkecuali anakku. Kubiarkan temanku bercerita sampai puas tentang
anaknya. Setelah selesai, aku berkomentar, "Bukankah itu do'amu?"

Temanku terperangah dan menyangkal, "Ah Masa! Nggak, ah. Aku tidak
berdo'a seperti itu."
Aku menjawab dengan mantap, "Bukankah sadar atau tidak hati kita sebagai
ibu akan berbisik, 'Nak, jangan nakal ya kalau Umi pergi." Atau, "Nanda,
jangan rewel ya kalau bunda ke luar rumah, Sayang, jangan cengeng ya
kalau Mama sedang pergi; dan sejenisnya'. Nah, bukankah ucapan ibu untuk
anaknya itu menjadi do'a yang makbul?"

Akhirnya temanku mengiyakan. Selanjutnya tinggal aku menambahkan saja.
"Kalau kamu mau ubahlah do'amu, misalnya 'nak jangan nakal ya kalau ibu
ada di rumah, menangislah asal ibu tidak mendengar'."

Temanku hanya tersenyum. Langsung kuterjemahkan, "Pasti kamu tidak akan
sanggup. Kita sebagai ibu akan merasa tenang jika meninggalkan buah hati
kita dalam keadaan manis, tidak rewel, tidak nakal dan tidak cengeng."

Perilaku cengeng, nakal, rewel, dan manja pasti melekat pada setiap
anak. Jika ibunya berdoa agar tidak bersifat seperti itu ketika
ditinggal pergi, tentu tertahanlah sifat itu pada si anak. Namun, si
anak lantas melampiaskan dan mencurahkan kecengengan, kenakalan,
kerewelan serta kemanjaannya saat bersama ibunya.

Seringkali sebagai ibu, kita lupa akan do'a yang kita ajukan pada Allah
swt. Misalnya, do'a untuk kesehatan dan kekuatan buah hatinya. Namun
ketika si upik ngompol dan BAB di pangkuan sementara sang ibu baru saja
hendak melaksanakan sholat, muncullah kekesalan di hatinya. Padahal,
bukankah kalau si upik tidak pipis dan BAB justru akan membuatnya
menderita, akan membuatnya sakit?
Juga, ketika buah hatinya berlari-lari tidak mau duduk diam,
mengacak-acak barang di rumah, main panjat-panjatan dan sebagainya, sang
ibu mengeluh capek dan kesal hatinya. Padahal, bukankah itu pertanda
anak kita sehat? Coba bayangkan jika anak hanya tergolek di tempat tidur
tanpa bisa melakukan apa-apa. Tidak bermain, tidak berlari, tidak
membuat 'kerusuhan-kerusuhan' kecil seperti mengacak-acak pakaian yang
telah diseterika, memanjat meja dan banyak lagi?alangkah menderitanya
hati ibunya.

Semua ibu pasti menginginkan anaknya pandai dan cerdas. Dan seorang ibu
pasti berdo'a demikian. Tapi sayangnya ketika sang anak yang sedang
belajar berbicara menanyakan sesuatu pada ibunya dan kemudian
mengulang-ulang terus pertanyaan yang sama, sang ibu lebih kerap menjadi
kesal dan menjawab sekenanya. Bahkan kadangkala diiringi nada tinggi
yang disertai ancaman untuk tidak bertanya lagi. Bagaimana kecerdasan
anak akan berkembang?

Semua memahami kalau doa ibu untuk anak-anaknya itu insya Allah akan
dikabulkan Allah, tetapi sayangnya ketika doa itu terkabul kita justru
tidak menyadari, bahkan mengeluh dan tidak bersyukur atas terkabulnya
doa kita.

Ridho dan Rifa (cerita haru)

Ridho dan Rifa
Oleh: Wuland
Sumber: http://www.kotasantri.com


Masih di sudut gang seperti biasa, menunggu dan terus
menunggu, entah sudah berapa jam gadis kecil dengan
baju lusuhnya duduk di sudut gang sempit itu. Sesekali
dia mengusap dahinya yang dibasahi peluh, dengan mata
beningnya dia terus menatap ke arah jalan raya.

Ini sudah lewat dari waktu anak-anak SD pulang
sekolah, tapi suasana jalanan tak pernah lengang
sebelum malam menjemput. Gadis kecil itu tiba-tiba
berdiri dan berlari menyongsong seseorang yang
kelihatannya sedari tadi ditunggunya.

"Baaaannggg!!!" sambut gadis kecil tadi riang, dengan
langkah-langkah pendeknya dia berlari ke arah kakaknya
yang berumur 10 tahun, 4 tahun lebih tua dari gadis
kecil tadi.

"Fa, ayo kita nyari tempat buat makan, Ab ang punya
nasi bungkus nih, kamu pasti sudah lapar sekali nunggu
dari tadi di sini," Ridho langsung meraih pergelangan
tangan yang terasa begitu kurus di genggaman telapak
tangannya.

Dengan wajahnya yang makin sumringah Rifa berlari-lari
kecil untuk mengimbangi langkah-langkah cepat
kakaknya. Tak ada yang memperhatikan tingkah kedua
anak kecil itu, semua orang sibuk dengan urusannya
sendiri-sendiri, sibuk dengan dunianya masing-masing.

Dua anak malang yang harus menjalani masa kecilnya
dengan memeras keringat sendiri, mencari sesuap nasi
untuk menyambung hidup mereka, kehidupan yang serba
susah dalam kerasnya kota besar itu membuat mereka
lebih berpikir dewasa daripada anak seumuran mereka.

Seperti biasa mereka langsung menuju ke mushola di
kawasan kumuh itu untuk menghabiskan makanan yang baru
didapatkan Ridho, entah apa yang ada di pikiran mereka
untuk kehidupan selanjutnya, bagi mereka yang penting
adalah saat ini mereka bisa makan berarti mereka masih
bisa meneruskan nafas sampai entah kapan.

Selesai makan Ridho merebahkan tubuhnya di teras
mushola, Rifa beranjak membuang bungkus makanan dan
mencuci tangannya. Kemudian kembali ke tempat abangnya
ikut-ikutan merebahkan diri di teras.

"Abang, Rifa tadi liat anak-anak yang pulang sekolah
pake baju sama semua, bagus deh Bang bajunya," Rifa
mulai berceloteh, karena sejak tadi pagi ditinggal
sendirian di sudut gang dekat SD Harapan Bunda.

"Itu namanya baju seragam," sahut Ridho sambil tetap
memejamkan mata.

"Terus, mereka juga bawa tas lucu-lucu deh Bang, Rifa
juga pingin punya tas yang lucu."

"Kamu punya tas buat apa? Kamu kan gak sekolah, nanti
saja kalau Abang punya uang kamu bisa sekolah, trus
Abang beliin tas," hibur Ridho, dia sendiri juga gak
tau kenapa mengatakan itu pada adiknya, untuk membeli
makan setiap harinya saja sudah susah, bisa makan
sud ah untung-untungan, gimana bisa beli tas apalagi
menyekolahkan Rifa.

"Tasnya yang lucu Bang yaa. Yang ada gambar bonekanya,
yang warnanya merah muda ya Bang," angan-angan Rifa
sudah kemana-mana membayangkan dia bisa bermain dengan
anak-anak SD yang lain, memakai seragam seperti
mereka, makan es krim yang suka mangkal di depan
sekolah, Rifa senyum-senyum sendiri membayangkan
abangnya pasti memenuhi janjinya.

Semilir angin membuai Ridho yang sedang kecapekan dan
membuatnya tertidur dalam waktu yang tidak lama. Tak
seberapa lama khayalan Rifa juga mulai menghilang
tergantikan dengan kegelapan yang membawanya ke alam
mimpi, dalam mimpinya tak jauh beda dengan
khayalannya. Berlari-lari di halaman sekolah dengan
seragam barunya dan teman-teman sekolahnya.

***

Setiap malam Ridho pergi ke warung-warung tenda untuk
menawarkan jasa semirnya, kalau malam biasanya Rifa
ikut dengan abangnya, katanya sih takut kalau harus
nunggu abangnya sendirian. Lagian kalau malam Ridho
tidurnya juga tidak pernah tetap, di mana ada tempat
yang bisa mereka pakai untuk tidur ya di situlah
mereka melepas lelah malam itu.

Ridho masih sibuk menawarkan jasanya dari orang ke
orang, tapi tak seorangpun yang mau menyemirkan sepatu
atau sandalnya. Mungkin ada beberapa orang yang merasa
iba dan memberikan uang receh tanpa minta disemir
sepatunya.

"Bang.... Rifa dikasih duit seribu sama ibu yang itu,"
kata Rifa senang sambil menyerahkan uangnya ke Ridho.

"Kamu simpan aja, itu kan duit kamu Fa, dikumpulin aja
biar bisa buat beli tas," jawab Ridho yang membuat
Rifa langsung memasukkan uang itu ke saku roknya.

Waktu beranjak semakin malam, seiring dengan lelah dan
kantuk yang semakin terasa, akhirnya mereka memutuskan
berhenti di teras toko yang baru saja ditutup.

"Malam ini cuman dapat dikit..., tapi cukuplah kalau
buat sarapan besok ," ucap Ridho lirih sambil
menghitung recehan yang berhasil dikantonginya malam
ini.

"Kalau gak cukup pake duitnya Rifa aja Bang," timpal
Rifa yang mulai menggelar koran untuk alas tidur
mereka.

"Gak usah, uang Abang masih cukup kok, udah sana kamu
tidur, besok harus bangun pagi kalau tidak ingin
diomeli sama yang punya toko."

Rifa segera merebahkan tubuhnya setelah selesai
menggelarkan koran untuk Ridho.

***

Pagi ini seperti pagi-pagi sebelumnya Rifa menunggu
abangnya di dekat SD Harapan Bunda, berdiri di luar
pagar dan memandangi anak-anak yang lagi asyik bermain
dan berlari-larian sudah menjadi rutinitasnya setiap
pagi sebelum akhirnya harus menunggu abangnya di sudut
gang karena anak-anak SD itu sudah pada pulang.

Dan seperti hari-hari sebelumnya juga Rifa menunggu
kakaknya di sudut gang kecil, sambil duduk di sebuah
bangku yang mulai reyot termakan panas dan hujan. Jam
satu sudah lewat, biasanya Ridho sudah datang, kalau
belum datang berarti duit untuk beli makan masih
kurang.

Paling telat biasanya Rifa menunggu sampai jam tiga,
tapi peduli apa Rifa dengan jam, toh dia tak mengerti
sama sekali dengan aturan jam. Yang dia tau sekarang
sudah mulai sore dan abangnya belum juga menampakkan
batang hidungnya. Rifa mulai gelisah karena lapar dan
khawatir, gadis kecil yang sudah hidup berdua saja
dengan kakaknya sejak umur 4 tahun itu tak beranjak
sama sekali dari sudut gang itu, karena dia tau kalau
abangnya pasti akan bingung mencarinya jika dia tidak
ada di sana ketika abangnya kembali.

Sore mulai hilang tergantikan merahnya senja, dan
senjapun sudah turun tahta tergantinya gelapnya malam.
Kini, Rifa hanya bisa menangis diantara bingung dan
laparnya.

***

Pagi itu ketika Ridho meninggalkan Rifa di depan SD
Harapan Bunda, tak terbersit sama sekali di pikirannya
jika nanti siang dia sud ah tidak bisa lagi bertemu
dengan adik semata wayangnya. Dengan adik yang sudah
dijaganya sejak 2 tahun yang lalu, Rifa-lah yang
membuatnya bertahan untuk menjalani hidup yang tidak
bersahabat ini.

Dan siang ini ketika Ridho hendak membeli makan di
warung dekat ruko yang sudah menjadi langganannya
karena selain murah juga sang empunya sering
memberikan makanan lebih karena tau kondisi Ridho. Di
lihatnya dari arah supermarket gerombolan petugas
keamanan dan beberapa warga sedang berlari mengejar
beberapa anak belasan tahun, mungkin ada yang seumur
dia ke arah Ridho hendak membeli makan.

Ridho hanya terpaku di tempat memandangi gerombolan
itu yang kian mendekat, tiba-tiba seseorang
menyergapnya dari belakang dan menyeretnya.

Ridho baru sadar ketika banyak orang yang berteriak
"Dasar maling kurang ajar!!!", "Masih kecil-kecil
sudah mencuri!!", "Dasar pengutil cilik!!", "Sudah
hajar saja!! Hajar!!".

"Saya buk an pencuri Paaaakkk!!!! .....Saya bukan
pencuriiii!!!!," teriak Ridho sekuat tenaga, tapi
cengkeraman lelaki itu semakin menguat.

Beberapa warga yang menyaksikan tragedi itu masih
mengeluarkan sumpah serapahnya, bahkan ada yang
mencoba memukulnya atau melemparinya dengan batu atau
apa saja yang bisa dilempar ke arah anak-anak yang
tertangkap itu.

"Saya tidak ngutil!! Lepaaaaaaasssssssss!!! Saya mau
beli makan buat adik saya, lepaskan saya Pak!!
Lepaaaaaaaaaaassssss!!!!!!" Ridho berontak makin
menjadi-jadi. Petugas itu semakin berang dengan
tingkah Ridho, dan menendangnya agar diam.

***

Dan malam itu, ketika Ridho tak juga menemui Rifa,
akhirnya Rifa memutuskan untuk pergi ke warung tenda
yang biasanya dikunjungi Ridho dan Rifa setiap malam.

Masih dengan sesenggukan Rifa menyusuri jalanan yang
diterangi lampu jalanan dan lampu kendaraan. Setelah
lelah mencari-cari di setiap warung tenda dan tidak
mendapatkan hasil, tangis Rifa makin menjadi, dan
terduduk di trotoar.

Dia tak tau lagi apa yang harus dilakukannya, sekarang
rasa lapar itu benar-benar telah melanda Rifa lagi,
tak pernah terpikir oleh Rifa untuk membeli makanan
dengan duitnya sendiri jika tidak ada abangnya. Masih
sendiri, dan menangis di tepi jalan itu.