MASA OTONOM, MASA "PERANG MULUT" dengan anak
    Secara bijak hargai dan akomodir keinginan anak agar terhindar dari "perang mulut". Jika tidak, akan berpengaruh buruk pada hubungan orang tua dan anak.
Coba       deh amati bentuk komunikasi sehari-hari kita dengan anak. Apakah Anda       terkesan cerewet dan gampang mengomel, menasehati dan melakukan berbagai       tindak verbal lain terhadap si kecil? Entah itu gara-gara ulahnya yang       dapat membahayakan diri atau tak sesuai aturan. Sebagai akibatnya, tidak       jarang anak melakukan aksi perlawanan dengan membantah atau membangkang.       Kalau sudah begini, "perang mulut" antara orang tua dan anak       sering tak terelakkan. Bagaimana sebaiknya orang tua membawa diri agar tak       sampai terjadi "perang mulut"?        Asal tahu saja, ada 4 hal       yang dapat menyulut "perang mulut" antara orang tua dan anak:        1. Larangan       orang tua tanpa penjelasan        Sebetulnya wajar bila orang Coba       deh amati bentuk komunikasi sehari-hari kita dengan anak. Apakah Anda       terkesan cerewet dan gampang mengomel, menasehati dan melakukan berbagai       tindak verbal lain terhadap si kecil? Entah itu gara-gara ulahnya yang       dapat membahayakan diri atau tak sesuai aturan. Sebagai akibatnya, tidak       jarang anak melakukan aksi perlawanan dengan membantah atau membangkang.       Kalau sudah begini, "perang mulut" antara orang tua dan anak       sering tak terelakkan. Bagaimana sebaiknya orang tua membawa diri agar tak       sampai terjadi "perang mulut"? Asal tahu saja, ada 4 hal       yang dapat menyulut "perang mulut" antara orang tua dan anak:        1.       Larangan orang tua tanpa penjelasan        Sebetulnya wajar bila orang       tertentu. Akibatnya, ketika orang tua melarangnya, kemungkinan besar si       anak hanya akan berteriak-teriak, menangis atau melakukan tindak fisik       yang semakin membuat orang tuanya kesal. 3.       Orang tua kurang memahami perkembangan anak        Menurut pakar psikososial,       Erik Erikson, di usia batita anak sedang memasuki masa otonomi. Cirinya,       anak selalu ingin mencoba sesuatu karena didorong keingintahuannya yang       semakin besar. Selain itu ia pun sangat ingin menunjukkan dirinya mampu       melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya sendiri.        Ironisnya, tak banyak orang       tua yang memberi kesempatan kepada anaknya untuk mewujudkan keinginannya       sendiri. Alasan mereka, si batita masih terlalu kecil sehingga       kemampuannya kerap diragukan. Contohnya, anak ingin minum dari gelas       beling tapi orang tua melarang karena takut gelas itu jatuh dan melukai       dirinya. Kalau kedua belah pihak sama-sama ngotot mempertahankannya,       buntut-buntutnya ya apa lagi kalau bukan sama-sama teriak. 4.       Situasi dan kondisi orang tua        Mungkin saja karena orang       tua sedang terburu-buru, lelah sepulang kantor dan sebagainya. Sehingga       ketika melarang si anak, ia tak punya banyak waktu untuk menjelaskan       secara detail alasannya. Tak heran kalau yang terlontar hanyalah, "Pokoknya,       Mama bilang enggak boleh. Titik!" Sementara si anak semakin keras       berteriak-teriak menyatakan, "Aku mau yang itu aja!" yang       terus berlanjut menjadi "perang mulut".        CARA       MENGHINDARI "PERANG MULUT"        Sebetulnya, "perang       mulut" antara orang tua dan anak dapat dihindari. Berikut beberapa       cara efektif yang dapat dilakukan orang tua:        *       Hargai dan penuhi keinginan anak        Hendaknya orang tua jangan       melarang anak secara langsung dan keras semisal dengan mengatakan, "Enggak       boleh!" Akan lebih baik bila terlebih dulu menanyakan keinginannya       yang patut dihargai untuk mencoba melakukan sesuatu. Ketika anak ngotot       mau minum dari gelas beling, contohnya, bisa kan orang tua mengatakannya       secara santun. "Oh, Ade, mau minum dari gelas itu? Boleh kok, tapi       pegangnya yang kuat ya biar enggak jatuh."        Kalaupun Anda tak bisa       menyimpan kekhawatiran, redakan perasaan itu dengan mengawasinya. Bisa       juga dengan memberi contoh bagaimana caranya memegang gelas dengan benar.       Jika ia melakukannya dengan baik, jangan pelit memberi pujian. Semisal,       "Wah, Adik pintar ya sudah bisa pegang gelas sendiri." Bagi anak,       pujian orang tua jelas memberi kebanggaan. *       Bujuk dan alihkan perhatiannya        Andaikata orang tua       bersikeras melarang hanya karena masih meragukan kemampuan si kecil,       sebaiknya tempuh cara lain dengan mengalihkan perhatian anak. Contohnya,       "Nak, coba perhatikan deh, gelas plastikmu lebih bagus lo. Ada gambar       Barbie-nya. Kalau gelas itu kan enggak ada gambarnya." Intinya,       tonjolkan kelebihan dari sesuatu yang ingin Anda ajukan kepada anak.        *       Beri penjelasan yang dapat diterima anak        Orang tua juga bisa memberi       penjelasan secara baik-baik pada anak. Misalnya mengapa dia dilarang       melakukan sesuatu, semisal khawatir tangannya terjepit atau terbentur       kepalanya. Anak perlu diberitahu risikonya dari tindakannya. "Mama       enggak perbolehkan kamu pakai gelas beling karena kalau jatuh bisa pecah.       Nanti kalau kena kakimu kan bisa luka."        Sampaikan penjelasan       sesederhana mungkin pada anak. Hendaknya orang tua bersikap konsisten       dalam memberi penjelasan mengenai larangan apa pun kepada anak. Dengan       demikian, meski mungkin anak belum paham sepenuhnya perkataan orang tua       tapi ia akan terbiasa menerima penjelasan mengapa ini boleh dan itu tidak.        *       Libatkan anak dalam berbagai kegiatan        Agar orang tua tak sering       melarang anaknya melakukan ini-itu, libatkan diri lebih banyak untuk       mendampingi anak ketika mencoba segala sesuatu. Jika  anak ingin mencoba       naik-turun tangga sendiri, contohnya, biarkan dia melakukannya sambil kita       ikuti dari belakang. Atau libatkan anak dalam kegiatan orang tua saat       menyiapkan sarapan, dan sebagainya.        PENGARUH       KONDISI PSIKIS        "Perang mulut" pun       tak seharusnya terjadi bila orang tua dapat mengenali tipe anaknya.       Umumnya, anak-anak yang sensitif dan cenderung introver, bila dilarang       jarang membantah atau meledak sampai terjadi "perang mulut".       Kalaupun dicereweti orang tuanya, anak tipe ini biasanya tak akan berani       mencoba sesuatu dan ini bisa berdampak buruk bagi perkembangannya. Anak       jadi serbatakut dan tak mandiri nantinya. Ia mungkin lebih memilih       mengalah dan minta tolong pada orang lain untuk melakukan sesuatu daripada       harus "perang mulut".        Sebaliknya, anak yang       ekstrover, bila dilarang biasanya akan membangkang sehingga memancing       munculnya "perang mulut". Perilaku membangkang tentu saja tidak       baik. Bisa jadi anak akan memaksakan kehendak tanpa menghiraukan alasan       orang lain. Akibatnya, kelak anak jadi terbiasa untuk tidak menerima       pendapat atau masukan dari orang lain.        Selain itu, "perang       mulut" antara orang tua dan anak, sebetulnya tak terkait langsung       dengan tipe pola asuh otoriter atau lainnya. Juga tak berarti orang tua       cenderung emosional. Perselisihan dengan anak lebih terkait dengan kondisi       psikis orang tua sesaat. Apakah karena sedang stres akibat banyak       pekerjaan, sedang terburu-buru, dan sebagainya. Namun, kondisi psikis       seperti ini amat berpeluang memicu kemarahan dalam menghadapi anak yang       sulit diatur.        Seharusnya, dalam kondisi       apa pun orang tua mampu mengendalikan diri. Jangan sampai menimpali anak       yang memang sedang berperilaku egosentris dan semaunya dengan sikap yang       kurang lebih sama. Kalau ini yang terjadi, bisa diterka bila yang ada       hanyalah saling ngotot. Pada anak sangat mungkin muncul perilaku temper       tantrum atau mengamuk. Tentu gaya seperti ini akan sia-sia belaka.       Bukannya menyelesaikan masalah, si anak justru cenderung mengulangi       perilakunya. Itu bisa dimengerti karena anak merasa tak mendapatkan       jawaban yang memuaskan dan masuk akal dari orang tuanya.        MINTA       MAAF        Bila kerap terjadi "perang       mulut", permusuhan antara orang tua dan anak semakin sulit untuk       dihindari. Tak bisa disalahkan sepenuhnya bila anak merasa kesal, sebal,       bahkan benci pada orang tuanya. Perasaan-perasaan negatif ini akan terus       disimpan anak, sementara orang tua pun jadi gampang memberi label-label       negatif seperti nakal, keras kepala, susah diberi tahu, dan sejenisnya.       Padahal belum tentu sifat-sifat anak seperti yang dilabelkan tersebut.       Akhirnya, hubungan anak-orang tua tak berjalan manis hampir di semua aspek       kehidupan. Sangat mungkin anak akan bersikap keras pada orang tuanya       sekadar untuk memancing "benih-benih" permusuhan tersembunyi       yang terus akan berlanjut. Seharusnya dikaji mengapa       sampai terjadi "perang mulut". Kalaulah telanjur terjadi,       kemungkinan orang tua sedang dalam kondisi marah sekali. Apa pun       penyebabnya, orang tua hendaknya jangan berlarut-larut untuk segera       menyadari kekhi-lafannya, semata-mata agar hubungannya dengan sang buah       hati bisa diperbaiki. Caranya? Cobalah mengklarifikasinya, semisal dengan       menjelaskan, "Maafkan Mama, ya, Mama tadi sudah marah-marah sama kamu.       Sebetulnya Mama sayang banget sama kamu dan enggak mau kamu celaka." Akan lebih mengena bila       pernyataan maaf diutarakan saat mau tidur malam. Yang pasti, tidak ada       kata terlambat untuk memperbaiki diri dan situasi. Kalau hal-hal positif       tersebut dihidupkan dalam keluarga, anak pun pasti akan meniru dan berlaku       serupa bila suatu saat dia melakukan kesalahan. Namun, orang tua pun       hendaknya bersabar. Artinya, jangan berharap terlalu muluk dengan sekali       memberi tahu, anak pasti akan mengingat-ingat dan memperbaiki perilakunya       saat itu juga. Soalnya, kemampuan pemahaman anak usia ini pasti masih       terbatas. Jadi, orang tualah yang harus bisa menetralisir diri, situasi,       sikap dan perkataannya. Orang tua pun tak perlu       khawatir perilaku anaknya yang gemar membantah dan melawan akan terus       berlanjut di usia selanjutnya. Semakin bertambahnya usia anak, dia semakin       bisa diajak berpikir logis kok.        Dedeh Kurniasih. Foto:       Iman/NAKITA Konsultan       Ahli:        Margaretha       Purwanti Rahardjo, M.Si.,  psikolog       dan staf pengajar Unika Atma Jaya, Jakarta

0 Comments:
Post a Comment
<< Home