Saturday, July 16, 2005

MASA OTONOM, MASA "PERANG MULUT" dengan anak

Secara bijak hargai dan akomodir keinginan anak agar terhindar dari "perang mulut". Jika tidak, akan berpengaruh buruk pada hubungan orang tua dan anak.

Coba deh amati bentuk komunikasi sehari-hari kita dengan anak. Apakah Anda terkesan cerewet dan gampang mengomel, menasehati dan melakukan berbagai tindak verbal lain terhadap si kecil? Entah itu gara-gara ulahnya yang dapat membahayakan diri atau tak sesuai aturan. Sebagai akibatnya, tidak jarang anak melakukan aksi perlawanan dengan membantah atau membangkang. Kalau sudah begini, "perang mulut" antara orang tua dan anak sering tak terelakkan. Bagaimana sebaiknya orang tua membawa diri agar tak sampai terjadi "perang mulut"?

Asal tahu saja, ada 4 hal yang dapat menyulut "perang mulut" antara orang tua dan anak:

1. Larangan orang tua tanpa penjelasan

Sebetulnya wajar bila orang Coba deh amati bentuk komunikasi sehari-hari kita dengan anak. Apakah Anda terkesan cerewet dan gampang mengomel, menasehati dan melakukan berbagai tindak verbal lain terhadap si kecil? Entah itu gara-gara ulahnya yang dapat membahayakan diri atau tak sesuai aturan. Sebagai akibatnya, tidak jarang anak melakukan aksi perlawanan dengan membantah atau membangkang. Kalau sudah begini, "perang mulut" antara orang tua dan anak sering tak terelakkan. Bagaimana sebaiknya orang tua membawa diri agar tak sampai terjadi "perang mulut"?

Asal tahu saja, ada 4 hal yang dapat menyulut "perang mulut" antara orang tua dan anak:

1. Larangan orang tua tanpa penjelasan

Sebetulnya wajar bila orang tertentu. Akibatnya, ketika orang tua melarangnya, kemungkinan besar si anak hanya akan berteriak-teriak, menangis atau melakukan tindak fisik yang semakin membuat orang tuanya kesal.

3. Orang tua kurang memahami perkembangan anak

Menurut pakar psikososial, Erik Erikson, di usia batita anak sedang memasuki masa otonomi. Cirinya, anak selalu ingin mencoba sesuatu karena didorong keingintahuannya yang semakin besar. Selain itu ia pun sangat ingin menunjukkan dirinya mampu melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya sendiri.

Ironisnya, tak banyak orang tua yang memberi kesempatan kepada anaknya untuk mewujudkan keinginannya sendiri. Alasan mereka, si batita masih terlalu kecil sehingga kemampuannya kerap diragukan. Contohnya, anak ingin minum dari gelas beling tapi orang tua melarang karena takut gelas itu jatuh dan melukai dirinya. Kalau kedua belah pihak sama-sama ngotot mempertahankannya, buntut-buntutnya ya apa lagi kalau bukan sama-sama teriak.

4. Situasi dan kondisi orang tua

Mungkin saja karena orang tua sedang terburu-buru, lelah sepulang kantor dan sebagainya. Sehingga ketika melarang si anak, ia tak punya banyak waktu untuk menjelaskan secara detail alasannya. Tak heran kalau yang terlontar hanyalah, "Pokoknya, Mama bilang enggak boleh. Titik!" Sementara si anak semakin keras berteriak-teriak menyatakan, "Aku mau yang itu aja!" yang terus berlanjut menjadi "perang mulut".

CARA MENGHINDARI "PERANG MULUT"

Sebetulnya, "perang mulut" antara orang tua dan anak dapat dihindari. Berikut beberapa cara efektif yang dapat dilakukan orang tua:

* Hargai dan penuhi keinginan anak

Hendaknya orang tua jangan melarang anak secara langsung dan keras semisal dengan mengatakan, "Enggak boleh!" Akan lebih baik bila terlebih dulu menanyakan keinginannya yang patut dihargai untuk mencoba melakukan sesuatu. Ketika anak ngotot mau minum dari gelas beling, contohnya, bisa kan orang tua mengatakannya secara santun. "Oh, Ade, mau minum dari gelas itu? Boleh kok, tapi pegangnya yang kuat ya biar enggak jatuh."

Kalaupun Anda tak bisa menyimpan kekhawatiran, redakan perasaan itu dengan mengawasinya. Bisa juga dengan memberi contoh bagaimana caranya memegang gelas dengan benar. Jika ia melakukannya dengan baik, jangan pelit memberi pujian. Semisal, "Wah, Adik pintar ya sudah bisa pegang gelas sendiri." Bagi anak, pujian orang tua jelas memberi kebanggaan.

* Bujuk dan alihkan perhatiannya

Andaikata orang tua bersikeras melarang hanya karena masih meragukan kemampuan si kecil, sebaiknya tempuh cara lain dengan mengalihkan perhatian anak. Contohnya, "Nak, coba perhatikan deh, gelas plastikmu lebih bagus lo. Ada gambar Barbie-nya. Kalau gelas itu kan enggak ada gambarnya." Intinya, tonjolkan kelebihan dari sesuatu yang ingin Anda ajukan kepada anak.

* Beri penjelasan yang dapat diterima anak

Orang tua juga bisa memberi penjelasan secara baik-baik pada anak. Misalnya mengapa dia dilarang melakukan sesuatu, semisal khawatir tangannya terjepit atau terbentur kepalanya. Anak perlu diberitahu risikonya dari tindakannya. "Mama enggak perbolehkan kamu pakai gelas beling karena kalau jatuh bisa pecah. Nanti kalau kena kakimu kan bisa luka."

Sampaikan penjelasan sesederhana mungkin pada anak. Hendaknya orang tua bersikap konsisten dalam memberi penjelasan mengenai larangan apa pun kepada anak. Dengan demikian, meski mungkin anak belum paham sepenuhnya perkataan orang tua tapi ia akan terbiasa menerima penjelasan mengapa ini boleh dan itu tidak.

* Libatkan anak dalam berbagai kegiatan

Agar orang tua tak sering melarang anaknya melakukan ini-itu, libatkan diri lebih banyak untuk mendampingi anak ketika mencoba segala sesuatu. Jika

anak ingin mencoba naik-turun tangga sendiri, contohnya, biarkan dia melakukannya sambil kita ikuti dari belakang. Atau libatkan anak dalam kegiatan orang tua saat menyiapkan sarapan, dan sebagainya.

PENGARUH KONDISI PSIKIS

"Perang mulut" pun tak seharusnya terjadi bila orang tua dapat mengenali tipe anaknya. Umumnya, anak-anak yang sensitif dan cenderung introver, bila dilarang jarang membantah atau meledak sampai terjadi "perang mulut". Kalaupun dicereweti orang tuanya, anak tipe ini biasanya tak akan berani mencoba sesuatu dan ini bisa berdampak buruk bagi perkembangannya. Anak jadi serbatakut dan tak mandiri nantinya. Ia mungkin lebih memilih mengalah dan minta tolong pada orang lain untuk melakukan sesuatu daripada harus "perang mulut".

Sebaliknya, anak yang ekstrover, bila dilarang biasanya akan membangkang sehingga memancing munculnya "perang mulut". Perilaku membangkang tentu saja tidak baik. Bisa jadi anak akan memaksakan kehendak tanpa menghiraukan alasan orang lain. Akibatnya, kelak anak jadi terbiasa untuk tidak menerima pendapat atau masukan dari orang lain.

Selain itu, "perang mulut" antara orang tua dan anak, sebetulnya tak terkait langsung dengan tipe pola asuh otoriter atau lainnya. Juga tak berarti orang tua cenderung emosional. Perselisihan dengan anak lebih terkait dengan kondisi psikis orang tua sesaat. Apakah karena sedang stres akibat banyak pekerjaan, sedang terburu-buru, dan sebagainya. Namun, kondisi psikis seperti ini amat berpeluang memicu kemarahan dalam menghadapi anak yang sulit diatur.

Seharusnya, dalam kondisi apa pun orang tua mampu mengendalikan diri. Jangan sampai menimpali anak yang memang sedang berperilaku egosentris dan semaunya dengan sikap yang kurang lebih sama. Kalau ini yang terjadi, bisa diterka bila yang ada hanyalah saling ngotot. Pada anak sangat mungkin muncul perilaku temper tantrum atau mengamuk. Tentu gaya seperti ini akan sia-sia belaka. Bukannya menyelesaikan masalah, si anak justru cenderung mengulangi perilakunya. Itu bisa dimengerti karena anak merasa tak mendapatkan jawaban yang memuaskan dan masuk akal dari orang tuanya.

MINTA MAAF

Bila kerap terjadi "perang mulut", permusuhan antara orang tua dan anak semakin sulit untuk dihindari. Tak bisa disalahkan sepenuhnya bila anak merasa kesal, sebal, bahkan benci pada orang tuanya. Perasaan-perasaan negatif ini akan terus disimpan anak, sementara orang tua pun jadi gampang memberi label-label negatif seperti nakal, keras kepala, susah diberi tahu, dan sejenisnya. Padahal belum tentu sifat-sifat anak seperti yang dilabelkan tersebut. Akhirnya, hubungan anak-orang tua tak berjalan manis hampir di semua aspek kehidupan. Sangat mungkin anak akan bersikap keras pada orang tuanya sekadar untuk memancing "benih-benih" permusuhan tersembunyi yang terus akan berlanjut.

Seharusnya dikaji mengapa sampai terjadi "perang mulut". Kalaulah telanjur terjadi, kemungkinan orang tua sedang dalam kondisi marah sekali. Apa pun penyebabnya, orang tua hendaknya jangan berlarut-larut untuk segera menyadari kekhi-lafannya, semata-mata agar hubungannya dengan sang buah hati bisa diperbaiki. Caranya? Cobalah mengklarifikasinya, semisal dengan menjelaskan, "Maafkan Mama, ya, Mama tadi sudah marah-marah sama kamu. Sebetulnya Mama sayang banget sama kamu dan enggak mau kamu celaka."

Akan lebih mengena bila pernyataan maaf diutarakan saat mau tidur malam. Yang pasti, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri dan situasi. Kalau hal-hal positif tersebut dihidupkan dalam keluarga, anak pun pasti akan meniru dan berlaku serupa bila suatu saat dia melakukan kesalahan.

Namun, orang tua pun hendaknya bersabar. Artinya, jangan berharap terlalu muluk dengan sekali memberi tahu, anak pasti akan mengingat-ingat dan memperbaiki perilakunya saat itu juga. Soalnya, kemampuan pemahaman anak usia ini pasti masih terbatas. Jadi, orang tualah yang harus bisa menetralisir diri, situasi, sikap dan perkataannya.

Orang tua pun tak perlu khawatir perilaku anaknya yang gemar membantah dan melawan akan terus berlanjut di usia selanjutnya. Semakin bertambahnya usia anak, dia semakin bisa diajak berpikir logis kok.

Dedeh Kurniasih. Foto: Iman/NAKITA

Konsultan Ahli:

Margaretha Purwanti Rahardjo, M.Si.,

psikolog dan staf pengajar Unika Atma Jaya, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home