"YA SUDAH, KAMU JANGAN MAIN LAGI SAMA DIA!"
    Mengambil alih pemecahan masalah anak ternyata bukan tindakan bijaksana.
eriakan       Riri membuat Rima buru-buru berlari mendekati anaknya yang berusia 4 tahun       itu. Tangannya langsung menyambar tubuh si kecil yang tengah       berhadap-hadapan dengan temannya, Andri. "Makanya kalau main jangan       berantem. Mendingan Adek di rumah saja deh," ucapnya pada Riri.       Rima gusar setelah mengetahui penyebab teriakan anaknya karena rebutan       mainan. Namun, karena Riri telah berhenti menangis, Rima pun       mengizinkannya bermain kembali. Beberapa menit kemudian, tangisan Riri       menggema lagi. Kali ini penyebabnya karena dia didorong hingga jatuh oleh       Andri. Rima kembali tergopoh-gopoh mengangkat Riri. Kali ini ia berucap       tegas, "Sudah, Adek enggak usah main di luar. Ayo, masuk rumah!" MENGATASI       MASALAH        Bila Anda dihadapkan pada       kasus seperti yang dihadapi Rima tadi, apakah Anda akan melakukan hal yang       sama? Mengomeli anak dan temannya lantas menggeret si kecil ke dalam rumah       dan melarangnya main lagi. Bila jawabannya "ya" ternyata       tindakan tersebut tidaklah bijaksana. Begitu menurut Neneng Tati       Sumiati, Psi., dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah       Jakarta. Ia menyayangkan banyak orang tua yang sering bertindak keliru       seperti tadi, yakni mengambil alih masalah saat melihat anaknya berkelahi       dengan teman, kakak, atau adiknya. Tak hanya itu, orang tua pun kerap       mengintervensi sambil mengomel dengan mengatur anak mesti begini-begitu. Intervensi dari orang tua       memang terkadang dapat menghindari terjadinya masalah yang lebih besar,       seperti saling berebut, saling pukul, dan saling mengejek. Namun cara ini       tidak mendidik anak untuk terbiasa mengatasi masalahnya sendiri. "Anak       tidak berusaha belajar dari kesalahan yang dibuatnya karena solusi ini       datang langsung dari orang tua bukan dari anak," ujar Neneng.        Anggapan bahwa mereka masih       anak kecil yang tidak tahu apa-apa, juga bukan alasan untuk selalu       membantunya memecahkan masalah. Perkembangan pola pikir balita memang       masih pra-operasional. Mereka masih belum berpikir secara jernih tentang       apa yang dihadapinya dan masih egosentris atau memikirkan kepentingan       dirinya saja. Namun tak perlu khawatir, meski pola pikirnya masih sangat       terbatas, dengan arahan yang tepat dan berulang, lambat laun ia akan       memahami apa yang kita jelaskan.        BERBAGAI       KASUS SEDERHANA        Jadi, yuk, kita mulai       melatih si kecil mengatasi masalahnya. Tak perlu yang rumit-rumit, cukup       dari kasus-kasus sederhana yang terjadi sehari-hari. Ini contohnya:        Kasus:       Anak frustrasi dan marah karena tidak berhasil menyusun pasel.        Solusi:       Carilah penyebab mengapa anak sampai tidak dapat selesai menyusun paselnya.       Jangan-jangan karena lapar, haus, atau lelah. Tawari dia untuk makan,       minum, atau istirahat sebelum melanjutkan permainan-nya. Selanjutnya       dampingi anak sambil memberi dukungan, "Ayo, Adek pasti bisa       menyelesaikan. Coba ini kepingan kakinya ditaruh mana ya?" Dari situ       ia akan lebih berkonsentrasi dan memperlihatkan kesungguhannya. Jangan       langsung turun tangan dan mengambil alih menyusun pasel. Kasus:       Di toko mainan si kecil bingung menentukan pilihannya apa yang mau dibeli.        Solusi:       Coba tanya pada si kecil mainan apa saja yang sudah ia miliki. Contoh,       "Adek sudah punya bola belum?" Bila ia menjawab "sudah"       sarankan untuk memilih mainan yang belum anak miliki. Cara seperti ini       akan memberikan arahan kepada anak yang sedang bingung memilih dan bisa       menjadi panduan mana yang harus dipilihnya.        Kasus:       Anak merasa lapar sehingga berperilaku negatif; membanting mainan, ngambek       atau yang lainnya.        Solusi:       Berikan penjelasan sederhana tentang mekanisme munculnya rasa lapar.       Misalnya, "Kakak lapar karena perut Kakak kosong jadi perlu diisi.       Nah, supaya perut Kakak penuh perlu apa dong?" Bila ia menjawab       "perlu makan", kita bisa lanjutkan dengan kalimat, "Jadi       Kakak enggak perlu marah-marah seperti itu karena tidak akan menyelesaikan       masalah," misalnya. Hal demikian bisa juga berlaku untuk kasus anak       yang kecapekan, kegerahan, atau haus yang terkadang membuatnya tidak bisa       berpikir jernih. Contoh kasus lain datang       dari Neneng sendiri. Ia bercerita kalau anaknya, Ivan yang berusia 5 tahun,       pernah pulang sekolah sambil menangis karena dicakar oleh temannya. "Ternyata       penyebabnya adalah rebutan bola. Anak saya sedang asyik main tiba-tiba       direbut oleh temannya itu," ujar Neneng. Lantaran kejadian itu, Ivan       marah dan memutuskan untuk tidak mau bermain lagi.        Neneng menyarankan, Ivan       harus tetap mau bermain dengan temannya itu dan tidak boleh dendam.       Sewaktu menjelaskan, psikolog ini menerangkan dari sudut pandang si teman.       "Noval merebut mainan kamu karena dia sangat ingin bermain bola. Jadi       lain kali kamu juga harus mau gantian ya." Soal Noval yang mencakar       Ivan, Neneng menganjurkan agar Ivan harus berani mengutarakan bahwa       dicakar itu sakit. "Coba tanya, Noval mau enggak dicakar. Enggak kan?       Jadi bilang pada Noval bahwa dia enggak boleh mencakar lagi."       Penjelasan dengan bahasa sederhana tersebut akhirnya dapat diterima Ivan       sehingga ia dapat menyelesaikan masalah dengan teman sekolahnya itu. DIAWALI       PENDEKATAN        Beberapa hal, menurut Neneng,       perlu dilakukan orang tua ketika memberikan arahan kepada anak untuk       mengatasi masalahnya:        *       Melakukan pendekatan        Saat si kecil menemukan       masalah, cobalah untuk berempati. Umumnya anak memerlukan orang tua       sebagai tempatnya mengadukan permasalahan. Empati yang kita tunjukkan akan       membuatnya merasa mudah untuk mencurahkan isi hati.        *       Menanyakan sumber masalah        Cara penyelesaian       perkelahian antarsaudara atau antarteman bisa diawali dengan menanyakan       dengan bijak apa yang menjadi sumber masalah. Kalau masalahnya rebutan       mainan, umpamanya, berikan saran dengan lembut, sambil memeluk keduanya       dan berkata, "Adek, ini mainan Kakak. Adek kan sudah punya mainan       sendiri. Coba sekarang main lagi bareng-bareng ya." *       Jangan menyalahkan        Hindari menyalahkan anak.       Misalnya dengan mengatakan, "Kakak jangan cari gara-gara terus dong.       Main sana yang benar. Jangan berantem lagi ya!" Perkataan seperti       tadi mungkin bisa langsung membuat anak "taat" tapi tidak       membuat ia sadar. Akibatnya, perkelahian akan terulang dan terulang lagi.        *       Sabar menjelaskan        Jangan lagsung mengharapkan       anak dapat langsung memahami apa yang kita ucapkan. Balita masih memiliki       pola pikir yang pra-operasional atau belum bisa memahami hal yang tidak       konkret. Untuk itulah, diperlukan kesabaran dalam menjelaskan permasalahan       yang sedang dihadapi anak.        *       Gunakan bahasa sederhana        Hindari menggunakan bahasa       yang terlalu panjang, detail, dan abstrak. "Kakak jangan berkelahi       karena berkelahi itu akan menyakiti satu sama lain. Kalau kamu menyakiti       adikmu kamu akan berdosa," misalnya. Tetapi cukup dengan bahasa yang       sederhana, seperti, "Kakak, kalau adik dipukul seperti itu kan sakit!" *       Memberikan arahan untuk membantu anak mencari solusi        Solusi jangan datang hanya       dari orang tua tetapi juga anak. Ajaklah ia untuk memikirkan jalan keluar       dari masalah yang ada. "Kalau Aldo temanmu itu merebut mainan kamu,       sebaiknya apa yang dilakukan?" Selanjutnya berikan arahan yang benar.        BILA       MAMPU MENGATASI MASALAH        Banyak manfaat yang bisa       didapat bila kita selalu memberi arahan kepada anak untuk dapat mengatasi       masalahnya sendiri:        *       Anak lebih mampu mengatasi masalah di kemudian hari atau setidaknya lebih       baik ketimbang bila tidak pernah dibiasakan mencari solusinya. Sebaliknya       anak yang selalu dibantu, saat dihadapkan pada masalah yang ringan       sekalipun akan mudah menyerah atau sulit mengatasinya sendiri.        *       Anak akan lebih mandiri dan tidak mudah frustrasi atau stres menghadapi       berbagai tekanan.        *       Bila sering diajak berpikir untuk memecahkan masalah, otak anak akan       dirangsang untuk bekerja sehingga sambungan-sambungan neuron di dalam       otaknya lebih banyak tercipta yang pada akhirnya akan membuat anak lebih       cerdas. *       Lewat arahan dari orang tua berarti tercipta komunikasi berkualitas antara       orang tua dengan anak. Komunikasi yang berkualitas akan membuat hubungan       keduanya makin erat. Hal ini sangat positif, baik untuk pertumbuhan fisik       anak maupun psikisnya karena anak merasa selalu diperhatikan oleh orang       tuanya yang memberi pengarahan bagaimana menyelesaikan permasalahan secara       mandiri.        *       Bila berhasil keluar dari masalah berarti anak sudah terlepas dari beban.       Ini sangat baik bagi kestabilan emosinya sehingga dia bisa melakukan       aktivitas sehari-harinya dengan ringan. Sebaliknya, bila dibiarkan       menyimpan beban mungkin saja anak akan mengalami tekanan yang membuat       kondisi emosinya tidak stabil, mudah marah, ngambek, kesal, dan       sebagainya.        Irfan Hasuki. Foto: Iman/NAKITA

0 Comments:
Post a Comment
<< Home