Saturday, July 16, 2005

"YA SUDAH, KAMU JANGAN MAIN LAGI SAMA DIA!"

Mengambil alih pemecahan masalah anak ternyata bukan tindakan bijaksana.

eriakan Riri membuat Rima buru-buru berlari mendekati anaknya yang berusia 4 tahun itu. Tangannya langsung menyambar tubuh si kecil yang tengah berhadap-hadapan dengan temannya, Andri. "Makanya kalau main jangan berantem. Mendingan Adek di rumah saja deh," ucapnya pada Riri. Rima gusar setelah mengetahui penyebab teriakan anaknya karena rebutan mainan. Namun, karena Riri telah berhenti menangis, Rima pun mengizinkannya bermain kembali. Beberapa menit kemudian, tangisan Riri menggema lagi. Kali ini penyebabnya karena dia didorong hingga jatuh oleh Andri. Rima kembali tergopoh-gopoh mengangkat Riri. Kali ini ia berucap tegas, "Sudah, Adek enggak usah main di luar. Ayo, masuk rumah!"

MENGATASI MASALAH

Bila Anda dihadapkan pada kasus seperti yang dihadapi Rima tadi, apakah Anda akan melakukan hal yang sama? Mengomeli anak dan temannya lantas menggeret si kecil ke dalam rumah dan melarangnya main lagi. Bila jawabannya "ya" ternyata tindakan tersebut tidaklah bijaksana. Begitu menurut Neneng Tati Sumiati, Psi., dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia menyayangkan banyak orang tua yang sering bertindak keliru seperti tadi, yakni mengambil alih masalah saat melihat anaknya berkelahi dengan teman, kakak, atau adiknya. Tak hanya itu, orang tua pun kerap mengintervensi sambil mengomel dengan mengatur anak mesti begini-begitu.

Intervensi dari orang tua memang terkadang dapat menghindari terjadinya masalah yang lebih besar, seperti saling berebut, saling pukul, dan saling mengejek. Namun cara ini tidak mendidik anak untuk terbiasa mengatasi masalahnya sendiri. "Anak tidak berusaha belajar dari kesalahan yang dibuatnya karena solusi ini datang langsung dari orang tua bukan dari anak," ujar Neneng.

Anggapan bahwa mereka masih anak kecil yang tidak tahu apa-apa, juga bukan alasan untuk selalu membantunya memecahkan masalah. Perkembangan pola pikir balita memang masih pra-operasional. Mereka masih belum berpikir secara jernih tentang apa yang dihadapinya dan masih egosentris atau memikirkan kepentingan dirinya saja. Namun tak perlu khawatir, meski pola pikirnya masih sangat terbatas, dengan arahan yang tepat dan berulang, lambat laun ia akan memahami apa yang kita jelaskan.

BERBAGAI KASUS SEDERHANA

Jadi, yuk, kita mulai melatih si kecil mengatasi masalahnya. Tak perlu yang rumit-rumit, cukup dari kasus-kasus sederhana yang terjadi sehari-hari. Ini contohnya:

Kasus: Anak frustrasi dan marah karena tidak berhasil menyusun pasel.

Solusi: Carilah penyebab mengapa anak sampai tidak dapat selesai menyusun paselnya. Jangan-jangan karena lapar, haus, atau lelah. Tawari dia untuk makan, minum, atau istirahat sebelum melanjutkan permainan-nya. Selanjutnya dampingi anak sambil memberi dukungan, "Ayo, Adek pasti bisa menyelesaikan. Coba ini kepingan kakinya ditaruh mana ya?" Dari situ ia akan lebih berkonsentrasi dan memperlihatkan kesungguhannya. Jangan langsung turun tangan dan mengambil alih menyusun pasel.

Kasus: Di toko mainan si kecil bingung menentukan pilihannya apa yang mau dibeli.

Solusi: Coba tanya pada si kecil mainan apa saja yang sudah ia miliki. Contoh, "Adek sudah punya bola belum?" Bila ia menjawab "sudah" sarankan untuk memilih mainan yang belum anak miliki. Cara seperti ini akan memberikan arahan kepada anak yang sedang bingung memilih dan bisa menjadi panduan mana yang harus dipilihnya.

Kasus: Anak merasa lapar sehingga berperilaku negatif; membanting mainan, ngambek atau yang lainnya.

Solusi: Berikan penjelasan sederhana tentang mekanisme munculnya rasa lapar. Misalnya, "Kakak lapar karena perut Kakak kosong jadi perlu diisi. Nah, supaya perut Kakak penuh perlu apa dong?" Bila ia menjawab "perlu makan", kita bisa lanjutkan dengan kalimat, "Jadi Kakak enggak perlu marah-marah seperti itu karena tidak akan menyelesaikan masalah," misalnya. Hal demikian bisa juga berlaku untuk kasus anak yang kecapekan, kegerahan, atau haus yang terkadang membuatnya tidak bisa berpikir jernih.

Contoh kasus lain datang dari Neneng sendiri. Ia bercerita kalau anaknya, Ivan yang berusia 5 tahun, pernah pulang sekolah sambil menangis karena dicakar oleh temannya. "Ternyata penyebabnya adalah rebutan bola. Anak saya sedang asyik main tiba-tiba direbut oleh temannya itu," ujar Neneng. Lantaran kejadian itu, Ivan marah dan memutuskan untuk tidak mau bermain lagi.

Neneng menyarankan, Ivan harus tetap mau bermain dengan temannya itu dan tidak boleh dendam. Sewaktu menjelaskan, psikolog ini menerangkan dari sudut pandang si teman. "Noval merebut mainan kamu karena dia sangat ingin bermain bola. Jadi lain kali kamu juga harus mau gantian ya." Soal Noval yang mencakar Ivan, Neneng menganjurkan agar Ivan harus berani mengutarakan bahwa dicakar itu sakit. "Coba tanya, Noval mau enggak dicakar. Enggak kan? Jadi bilang pada Noval bahwa dia enggak boleh mencakar lagi." Penjelasan dengan bahasa sederhana tersebut akhirnya dapat diterima Ivan sehingga ia dapat menyelesaikan masalah dengan teman sekolahnya itu.

DIAWALI PENDEKATAN

Beberapa hal, menurut Neneng, perlu dilakukan orang tua ketika memberikan arahan kepada anak untuk mengatasi masalahnya:

* Melakukan pendekatan

Saat si kecil menemukan masalah, cobalah untuk berempati. Umumnya anak memerlukan orang tua sebagai tempatnya mengadukan permasalahan. Empati yang kita tunjukkan akan membuatnya merasa mudah untuk mencurahkan isi hati.

* Menanyakan sumber masalah

Cara penyelesaian perkelahian antarsaudara atau antarteman bisa diawali dengan menanyakan dengan bijak apa yang menjadi sumber masalah. Kalau masalahnya rebutan mainan, umpamanya, berikan saran dengan lembut, sambil memeluk keduanya dan berkata, "Adek, ini mainan Kakak. Adek kan sudah punya mainan sendiri. Coba sekarang main lagi bareng-bareng ya."

* Jangan menyalahkan

Hindari menyalahkan anak. Misalnya dengan mengatakan, "Kakak jangan cari gara-gara terus dong. Main sana yang benar. Jangan berantem lagi ya!" Perkataan seperti tadi mungkin bisa langsung membuat anak "taat" tapi tidak membuat ia sadar. Akibatnya, perkelahian akan terulang dan terulang lagi.

* Sabar menjelaskan

Jangan lagsung mengharapkan anak dapat langsung memahami apa yang kita ucapkan. Balita masih memiliki pola pikir yang pra-operasional atau belum bisa memahami hal yang tidak konkret. Untuk itulah, diperlukan kesabaran dalam menjelaskan permasalahan yang sedang dihadapi anak.

* Gunakan bahasa sederhana

Hindari menggunakan bahasa yang terlalu panjang, detail, dan abstrak. "Kakak jangan berkelahi karena berkelahi itu akan menyakiti satu sama lain. Kalau kamu menyakiti adikmu kamu akan berdosa," misalnya. Tetapi cukup dengan bahasa yang sederhana, seperti, "Kakak, kalau adik dipukul seperti itu kan sakit!"

* Memberikan arahan untuk membantu anak mencari solusi

Solusi jangan datang hanya dari orang tua tetapi juga anak. Ajaklah ia untuk memikirkan jalan keluar dari masalah yang ada. "Kalau Aldo temanmu itu merebut mainan kamu, sebaiknya apa yang dilakukan?" Selanjutnya berikan arahan yang benar.

BILA MAMPU MENGATASI MASALAH

Banyak manfaat yang bisa didapat bila kita selalu memberi arahan kepada anak untuk dapat mengatasi masalahnya sendiri:

* Anak lebih mampu mengatasi masalah di kemudian hari atau setidaknya lebih baik ketimbang bila tidak pernah dibiasakan mencari solusinya. Sebaliknya anak yang selalu dibantu, saat dihadapkan pada masalah yang ringan sekalipun akan mudah menyerah atau sulit mengatasinya sendiri.

* Anak akan lebih mandiri dan tidak mudah frustrasi atau stres menghadapi berbagai tekanan.

* Bila sering diajak berpikir untuk memecahkan masalah, otak anak akan dirangsang untuk bekerja sehingga sambungan-sambungan neuron di dalam otaknya lebih banyak tercipta yang pada akhirnya akan membuat anak lebih cerdas.

* Lewat arahan dari orang tua berarti tercipta komunikasi berkualitas antara orang tua dengan anak. Komunikasi yang berkualitas akan membuat hubungan keduanya makin erat. Hal ini sangat positif, baik untuk pertumbuhan fisik anak maupun psikisnya karena anak merasa selalu diperhatikan oleh orang tuanya yang memberi pengarahan bagaimana menyelesaikan permasalahan secara mandiri.

* Bila berhasil keluar dari masalah berarti anak sudah terlepas dari beban. Ini sangat baik bagi kestabilan emosinya sehingga dia bisa melakukan aktivitas sehari-harinya dengan ringan. Sebaliknya, bila dibiarkan menyimpan beban mungkin saja anak akan mengalami tekanan yang membuat kondisi emosinya tidak stabil, mudah marah, ngambek, kesal, dan sebagainya.

Irfan Hasuki. Foto: Iman/NAKITA

0 Comments:

Post a Comment

<< Home